Jakarta (Greeners) – Pemerintah menyiapkan sistem korporasi petani berbentuk koperasi skala bisnis. Sistem diterapkan untuk memperkuat kesejahteraan dan produktivitas petani lokal dengan mengonsolidasi pengelolaan lahan, petani, dan program pemerintah. Program ini diharapkan dapat menghasilkan pangan lokal yang berdampak ekonomi besar.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Teten Masduki mengatakan pertanian Indonesia masih dilakukan secara jalur perorangan. Sehingga dibutuhkan integrasi untuk menyejahterakan dan menghasilkan ekonomi yang lebih besar untuk para petani. Menurut Teten program tersebut akan menyasar langsung kepada UKM. Lahan petani yang tersebar di suatu wilayah, kata dia, juga akan diperluas menjadi satu hamparan sehingga dapat memproduksi pangan lebih besar dan stabil.
“Di sini bukan berarti petani membuat korporasi, tapi skema yang digunakan harus bisa mengadopsi prinsip-prinsip dalam korporasi. Pengelolaan lahannya tidak sendiri, komoditas tidak dijual sedikit, program-program pemerintah dikonsolidasikan untuk mendukung komoditi sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. Dalam situasi itu, tentu pembiayaan lebih mudah, program pemerintah lebih optimal. Jadi, koperasi memainkan peran untuk melakukan perubahan supaya yang dikelola rakyat punya skala ekonomi bagus,” ujar Teten pada diskusi media di Jakarta, Kamis, (30/01/2020).
Baca juga: Pemerintah Didorong Segera Implementasikan Zero Waste
Teten mencontohkan di sektor pertanian kopi, misalnya, sekitar 96 persen kebun kopi di Indonesia dimiliki oleh petani kecil dengan produktivitas rendah atau sekitar 700 kilogram per hektar. Menurutnya, produktivitas dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi akses informasi atau pengetahuan untuk menerapkan Praktik Pertanian yang Baik (GAP), pascapanen, akses ke pasar, dan keuangan.
“Mereka memproduksi tidak efisien, kurang produktif, lalu ada jarak dengan market. Kita coba konsolidasikan ini dalam bentuk koperasi, lahannya masuk ke dalam skala bisnis. Untuk pembiayaannya skemanya sudah ada. Sekarang kita membutuhkan offtaker (pembeli) dengan para importir atau juga produsen kopi besar di Indonesia,” ujar Teten.
Sementara staf khusus Menteri Koperasi dan UKM, Riza Damanik mengatakan percobaan korporasi petani sudah dilakukan di daerah Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat. Melalui Perhutanan Sosial, lahan tambak rakyat diserahkan ke dalam skema Perhutanan Sosial. Riza menuturkan masing-masing petambak diberikan 2 hektar lahan dalam waktu 35 tahun. Dengan rincian, 1 hektar lahan digunakan sebagai rehabilitasi mangrove dan sisanya sebagai tambak udang.
“Dari beberapa model yang sudah diuji coba, kita optimistis untuk melakukan akselerasi dalam kegiatan pertanian. Seperti kerangka untuk peningkatan ekonomi petani, memastikan sektor pertanian semakin menggeliat, komoditi produk semakin tinggi, dan industri semakin berkembang. Korporatisasi petani melalui koperasi menjadi salah satu jalan utama yang ditempuh dan pilih,” ujarnya.
Program Dinilai Ambigu
Menanggapi program tersebut, Koordinator Nasional Perkumpulan Indonesia Berseru Tejo Wahyu Jatmiko menilai konsep korporasi petani melalui koperasi bersifat ambigu. Sebab koperasi dengan korporasi berbeda.
Tejo menuturkan koperasi dibangun dari keanggotaan. Artinya satu anggota memiliki satu suara dan keputusan tertinggi berada pada rapat anggota. Sementara korporasi berbasis kepemilikan saham. Menurutnya, dalam konsep tersebut berarti pemilik saham merupakan empunya suara sekaligus pengarah bisnis.
Ia mengatakan konsep korporasi petani dengan mengonsolidasi lahan sudah pernah ada pada zaman pemerintahan presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, program tidak berjalan karena tidak didahului dengan kajian yang komprehensif.
Baca juga: Isu Lingkungan Masih Buram di 100 Hari Pemerintahan
“Pemerintah tidak perlu bikin program aneh-aneh. Berdayakan saja Badan Usaha Milik Desa atau Badan Usaha Milik Antardesa, dorong dalam bentuk koperasi dan perkuat. Jangan lupa harus berbasis potensi sumber daya lokal. Kalau memang daerah pertanian ya harus berbasis pertanian,” ujar Tejo, Senin, 03 Februari 2020.
Menurut Tejo upaya menyejahterakan petani merupakan kewajiban pemerintah. Presiden Joko Widodo, kata dia, pernah menjanjikan akses 12 juta hektar kepada petani untuk menyelesaikan masalah lahan. Namun, implementasinya belum berjalan secara maksimal.
Ia juga menilai, pemerintah sebenarnya telah mengetahui persoalan yang dihadapi petani seperti lahan, sarana dan prasarana pertanian, serta pemasaran. “Kalau ada petani berlahan sempit, diberikan input seperti apa juga susah untuk meningkat kesejahteraannya. Kecuali ada aktivitas off farm-nya, misalnya menanam cabe. Mereka mengolah menjadi cabe kering atau pasta cabe,” ucapnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani