Jakarta (Greeners) – Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat (Jabar) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan dari hasil pertanian sudah harus didukung dengan penggunaan teknologi dan inovasi, seperti contohnya benih rekayasa genetika.
Sekretaris Jendral HKTI, Benny Pasaribu menjelaskan bahwa alasan benih rekayasa dibutuhkan karena areal pertanian yang tersedia saat ini kebanyakan merupakan lahan marjinal atau suboptimal.
“Makanya, para petani Jabar yang berhasil dengan benih rekayasa genetikanya harus didukung dan pemerintah sudah harus segera menyetujui penggunaan benih hasil rekayasa genetika atau bioteknologi oleh petani Jabar itu,” ungkap Benny kepada Greeners, Jakarta, Jumat (22/08).
Benny menyesali kenapa hingga saat ini seluruh petani di dalam negeri masih belum diperbolehkan menanam benih bioteknologi. Padahal, lanjutnya, produk benih bioteknologi dari luar negeri sudah banyak yang dikonsumsi masyarakat Indonesia melalui impor pangan dan komoditas jagung dan kedelai.
“Kami masih menunggu agar diberikan kesempatan menggunakan teknologi pertanian termutakhir, dalam hal ini teknologi perbenihan yang ada pada tanaman bioteknologi,” tambahnya.
Seperti diketahui, laju konversi lahan yang dua kali lebih cepat dibanding pencetakan sawah baru per tahun membuat lahan pertanian Indonesia yang tinggal 8,1 juta hektare terancam habis pada 2150.
HKTI juga menilai bahwa Jabar merupakan wilayah yang sulit untuk mencetak sawah baru karena ketiadaan lahan basah, seperti rawa dan hutan, yang merupakan lahan paling mudah untuk dicetak menjadi sawah baru.
Sejak 2013, telah tercetak 500 hektare lahan pertanian baru di Jabar, sedangkan pada 2014 Pemprov Jabar menargetkan dapat mencetak 17.000 hektare sawah. Pemprov Jabar sendiri melalui Dinas Pertanian menargetkan luas lahan pertanian pada 2018 dapat mencapai 1 juta hektare dan menambah produksi padi sebesar 1,2 juta ton.
(G09)