Pemerintah Diminta Punya Komitmen Iklim bagi Kelompok Rentan

Reading time: 4 menit
Masyarakat sipil meminta pemerintah memiliki komitmen iklim bagi masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim. Foto: Walhi
Masyarakat sipil meminta pemerintah memiliki komitmen iklim bagi masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Komitmen iklim kedua atau Second Nationally Determined Contribution (SNDC) tengah disiapkan pemerintah. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 64 lembaga mendorong agar dokumen ini digunakan sebagai momentum untuk memperbaiki komitmen iklim dengan pendekatan yang lebih adil dan partisipatif, terutama keadilan bagi masyarakat rentan.

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, mengungkapkan bahwa pemerintah harus mengutamakan keadilan sosial dengan memperhatikan hak dan kebutuhan spesifik kelompok masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim. Seperti petani kecil, nelayan tradisional, dan masyarakat adat.

BACA JUGA: Aktivis Pantau Pengaruh UU Cipta Kerja terhadap Komitmen Iklim Indonesia

“Hanya dengan cara itulah dapat terwujud keadilan iklim atau transisi yang adil,” ujar Kuswardono dalam Peluncuran Dokumen Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan di Jakarta, Kamis (29/8).

Dokumen SNDC itu rencananya akan pemerintah serahkan pada September 2024 kepada Sekretariat UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Dokumen itu berisi komitmen pemerintah dalam menanggulangi perubahan iklim dan mengurangi emisi.

Komitmen Iklim Belum Selaras

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan lonjakan signifikan dalam bencana iklim, dari 1.945 insiden di tahun 2010 menjadi 3.544 di tahun 2022. Hal itu mempengaruhi lebih dari 20 juta orang.

Laporan IPCC (2023) mengungkapkan bahwa 79% emisi gas rumah kaca global pada 2019 berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan. Sementara, 22% berasal dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya.

Pemerintah juga telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk menangani perubahan iklim. Kebijakan itu terdiri dari target emisi nol pada 2060, Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim, Transisi Energi Nasional, Indonesia FOLU Net Sink 2030, dan Nilai Ekonomi Karbon.

Namun, Kuswardono menilai ambisi ini belum selaras dengan target global untuk menurunkan emisi di angka 1,5 derajat Celcius. Bahkan, target emisi nol pada 2060 yang pemerintah tetapkan dinilai lebih panjang dibandingkan komitmen internasional yang menargetkan 2050.

Akibatnya, kelompok rentan menanggung dampak paling berat akibat perubahan iklim. Di antaranya petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, buruh, pekerja informal, perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak, orang muda, lansia, dan korban kekerasan berbasis gender.

“Padahal, kelompok-kelompok ini bukan penyumbang utama emisi gas rumah kaca, tetapi justru menjadi yang paling terkena dampak,” tambah Kuswardono.

Masyarakat sipil meminta pemerintah memiliki komitmen iklim bagi masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim. Foto: Freepik

Masyarakat sipil meminta pemerintah memiliki komitmen iklim bagi masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim. Foto: Freepik

Masyarakat Adat dan Nelayan dalam Bahaya

Sementara itu, dokumen ‘Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan’ menyebutkan bahwa kelompok masyarakat rentan terus menanggung beban akibat perubahan iklim dan upaya penanggulangannya, meskipun mereka bukan penyebab utama.

Misalnya, tentang masyarakat adat yang dalam dokumen ENDC 2022. Dalam dokumen itu, pemerintah telah menyatakan menjunjung tinggi kewajiban, untuk menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia dan hak masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim.

Sayangnya, pengakuan dan perlindungan wilayah adat beserta seluruh haknya masih terabaikan. Badan Registrasi Wilayah Adat telah meregistrasi 30,2 juta ha wilayah adat, tetapi pemerintah baru mengakui 1,1% dari hutan adat tersebut.

“Meskipun masyarakat adat hanya mencakup 6,2% dari populasi global, mereka melindungi 80% dari keanekaragaman hayati dunia yang tersisa dan menjaga sepertiga hutan alam yang tersisa di dunia,” ujar Advokasi dan Peneliti Kebijakan WGII, Ihsan Maulana.

BACA JUGA: Ini Alasan Pentingnya Penerapan Topik Perubahan Iklim di Kampus Islam

Selanjutnya di pesisir, nelayan tradisional mengalami penurunan hasil tangkapan dan keuntungan akibat perubahan iklim. Hasil survei Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menunjukkan bahwa 72% nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan. Kemudian, sebanyak 83% mengalami penurunan keuntungan, dan 86% merasa risiko kecelakaan meningkat.

Situasi ini menunjukkan persoalan krusial yang dialami nelayan tradisional akibat perubahan iklim. Pada saat negara mengkampanyekan ikan sebagai sumber pangan bergizi, akan tetapi situasi nelayan tradisional malah semakin memburuk.

Perempuan Hadapi Dampak Kekeringan

Perempuan juga menghadapi dampak besar dari kekeringan akibat perubahan iklim. Di beberapa desa, perempuan harus berjalan jauh untuk mendapatkan air, dan di daerah perkotaan, biaya untuk membeli air bersih meningkat. Di sisi lain, perempuan adalah kelompok yang paling tahan menghadapi perubahan iklim, tetapi juga yang paling terkena dampak.

Misalnya, di Desa Kalikur dan Tobotani di Lembata Nusa Tenggara Timur, perempuan harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencari air. Bagi perempuan Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas, perempuan tidak lagi menanam benih lokal yang lebih bergizi. Sebab, masa tanam yang tidak lagi sesuai dengan musim. Akhirnya, mereka harus membeli pangan dari luar desa. Di perkotaan, pengeluaran rumah tangga membengkak untuk membeli air bersih.

Penyandang disabilitas juga mengalami hambatan struktural dan diskriminasi yang membuat mereka semakin rentan. Bencana iklim sering kali mengakibatkan kematian yang lebih tinggi di kalangan penyandang disabilitas akibat kurangnya akses dan dukungan inklusif.

“Ketika bencana iklim melanda, penyandang disabilitas sering kali menjadi korban berlapis-lapis, dengan tingkat kematian empat kali lebih tinggi akibat kurangnya akses dan dukungan yang inklusif,” kata Koordinator Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Fatum Ade.

Masyarakat Sipil Berikan Rekomendasi Komitmen Iklim

Menanggapi krisis demokrasi dan iklim yang tengah melanda Indonesia, organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan tegas. Mereka menyerukan perlunya menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Kemudian, memastikan suara dari semua kelompok. Terutama, suara kelompok rentan perlu didengar dan dihormati dalam pengambilan keputusan terkait iklim.

Selain itu, koalisi masyarakat sipil menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan hak kelompok rentan. Ini termasuk memastikan bahwa perlindungan tersebut tercantum dengan jelas dalam bagian “Just Transition” pada dokumen SNDC. Lalu, diintegrasikan ke dalam seluruh strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Partisipasi publik yang bermakna juga menjadi fokus utama. Koalisi masyarakat sipil berharap pemerintah dapat menjalankan partisipasi publik yang efektif dalam semua tahapan aksi iklim. Hal ini termasuk membentuk mekanisme pelibatan yang konkret dalam penyusunan dan implementasi kebijakan terkait SNDC.

Dalam hal aksi iklim, koalisi mendesak agar seluruh tindakan memberikan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rentan. Sementara, beban pengurangan emisi harus lebih banyak dibebankan pada kelompok yang menyumbang emisi terbesar. Hal ini penting untuk memastikan keadilan sosial dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top