Jakarta (Greeners) – Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyampaikan penyebab polusi udara yang beberapa hari ini terjadi di wilayah DKI Jakarta.
Menurut Direktur Eksekutif Ahmad Safrudin, ada enam penyebab DKI Jakarta diselimuti oleh polusi udara, yakni emisi dari kendaraan bermotor 47%, industri termasuk pembangkit listrik 22%, road dust 11%, domestik 11%, pembakaran sampah 5%, dan proyek konstruksi 4%.
Menurut Ahmad, pencemaran udara terutama di Jakarta telah menjadi bahaya laten, karena tidak pernah surut setidaknya hampir 3 (tiga) dekade ini. Tahun 1994/1995 Jakarta pernah dinobatkan sebagai kota dengan pencemaran udara tertinggi ke-3 di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.
Ahmad mengatakan juga bahwa setahun belakangan “Jakarta justru sering menempati posisi sebagai kota paling tercemar di dunia”.
BACA JUGA : 17 Tahun Car Free Day, Efektifkah Kurangi Polusi Udara?
Bahkan, hari-hari lebaran ldul Fitri 1440 H yang lalu, langit Jakarta kelabu dan dengan kualitas udara “Sangat Tidak Sehat” dan seminggu belakangan ini warna langit kelabu relatif permanen (kualitas udara “Sangat Tidak Sehat”), sehingga menjadi malapetaka bagi warga Jakarta dan siapapun yang sedang berada di Jakarta.
Ahmad menyampaikan, menurut AQI (Air Quality Index) PM2.5 pada 2018 menunjukkan kualitas udara dalam kategori baik hanya 20 hari selama kurun waktu 1 Januari – 18 Agustus 2018.
Sementara, rata-rata konsentrasi PM2.5 pada bulan 1 Januari 4 juni 2019 menjadi 57.66 µg/m3 dengan sebaran terendah 9.4 µg/m3 dan tertinggi 143.2 µg/m3.
“Menurut data tersebut, polusi udara di Jakarta sangatlah tinggi dan perlu tindakan cepat dari pemerintah, setidaknya pada penegakan hukum pada kendaraan yang tidak memenuhi baku mutu emisi. Karena menurut kami, sumber pencemaran udara yang paling tinggi adalah pada kendaraan khususnya motor, lakukanlah razia emisi dikerjakan bersama-sama dengan polisi lalu lintas sehingga kendaraan yang tidak sesuai baku emisi ditilang dan diproses di pengadilan dikenakan sanksi berat. Supaya ada efek jeranya,” ujar Ahmad pada diskusi media di Kantor KPBB, Gedung Sarinah, Jakarta, Jumat (28/06/2019).
Ahmad juga mengatakan pemerintah seharusnya lebih ketat melakukan penegakan hukum untuk industri, apalagi PLTU yang berada di sekitar Jakarta. Sudah saatnya pemerintah mengadopsi energi bersih dan stop energi kotor dengan melarang pemasaran premium 88, pertalite 90, solar 48, dan dexlite karena ini bahan-bahan kotor dan harus dihentikan.
Menurut Ahmad, polusi udara bisa meningkatkan paparan penyakit yang menyebabkan masyarakat harus membayar biaya medis 51,2 triliun rupiah, seperti yang pernah terjadi pada 2016 dengan sakit/penyakit seperti ISPA, pneumoma, bronchopneumonia, COPD, asma, bronchitis, jantung coroner, kanker, ganguan fungsi ginjal, penurunan point IQ pada anak-anak, hipertensi, sakit kepala, iritasi mata, iritasi kulit, dan ganguan psikologis.
“Belum ada usaha serius untuk mengendalikan pencemaran udara meskipun regulasi sudah mengatur secara teknis. Untuk itu, harus segera dilakukan upaya pengendalian pencemaran udara agar tidak berlanjut malapetaka pencemaran udara Jakarta ini,” ujar Ahmad.
BACA JUGA : Dampak Tingginya Polusi Udara, 48 Warga Jakarta Akan Gugat Pemerintah
Menganggapi pernyataan dari KPBB, dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Karliansyah, mengatakan Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, maka waktu rentang nilai konsentrasi untuk parameter PM 2,5 tersebut harus disampaikan dalam bentuk rata-rata harian/rata-rata tahunan.
“Data AQMS KLHK DI Gelora Bung Karno menunjukkan bahwa rata-rata harian PM 2,5 kota Jakarta sejak 1 Januari hingga 24 Juni 2019 pada angka 30,64 µg/Nm3. Jika dibandingkan dengan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yaitu 65 µg/Nm3 maka kualitas udara Jakarta masih BAGUS atau SEHAT. Serta, jika dibandingkan dengan Standart WHO pada angka 25 µg/Nm3, maka kualitas udara Jakarta masuk kategori SEDANG,” ujar Karliansyah.
Karliansyah menyatakan, jika menggunakan data gabungan AQMS KLHK dan Pemerintah DKI Jakarta, maka kualitas udara Jakarta berada pada konsentrasi 39,04 µg/Nm3 atau pada kategori TIDAK SEHAT UNTUK KELOMPOK SENSITIF (Bayi dan Manula).
“Ya kita berdasarkan data senyatanya saja. Itu kan data dari AQMS yg realtime dan kontinyu (tdk bisa direkayasa). Kalau yg disajikan data sesaat ya tidak tepat,” tegasnya.
Penulis: Dewi Purningsih