Jakarta (Greeners) – Instruksi Presiden Joko Widodo untuk merealisasi ratusan ribu hektare sawah baru di lahan gambut dinilai hanya berorientasi jangka pendek. Pemerintah diminta menggencarkan intensifikasi pertanian dibanding melakukan ekstensifikasi di lahan gambut untuk mengatasi krisis pangan jangka panjang.
Menurut Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), untuk membuka lahan sawah baru setidaknya membutuhkan biaya sebesar Rp10 juta sampai Rp20 juta per hektare. Biaya lain untuk membuat infrastruktur pendukung, seperti irigasi, jalan, kanal, dan biaya sosial juga harus disiapkan.
Dibanding mencetak sawah baru di lahan gambut, kata Said, pemerintah semestinya mengutamakan lahan pangan produktif yang sudah ada. “Kuatkan proses intensifikasi dan mulai fokus mengembangkan pangan non beras untuk mengurangi beban beras,” ujar Said, Senin, (04/05/2020).
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Ajukan Gugatan Soal Omnibus Law
Pembukaan sawah di lahan gambut juga berpotensi menimbulkan krisis lingkungan. Sebab, lahan gambut memiliki tingkat keasaman dan kadar besi tertentu. Tanah gambut juga rawan mengalami kebakaran sehingga diperlukan kanal-kanal khusus untuk mengatur irigasinya.
Koordinator Nasional Perkumpulan Indonesia Berseru, Tejo Wahyu Jatmiko menyebut keputusan presiden untuk mencetak sawah di lahan gambut tidak holistik dalam perencanaan maupun implementasinya. Ia mengatakan, selama ini pembukaan lahan sawah tidak lebih dari rata-rata 50 ribu hektare. Sedangkan alih fungsi sawah mencapai 100 ribu hektare. “Jadi setiap tahun pertumbuhan lahan kita minus,” ucap Tejo.
Menurutnya, di samping memetakan lahan pangan secara rinci , pemerintah juga harus menata kebijakannya. Misalnya dengan mendorong tata kelola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. “Diversifikasi pangan adalah kunci. Penataan produksi dan konsumsi pangan harus berbasis sumber daya lokal. Jadi, perlu pengembangan umbi-umbian, jagung, sorgum, sagu,” ujar Tejo.
Memberdayakan Lahan Petani Kecil
Sementara, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, pemerintah seharusnya memberdayagunakan tanah-tanah yang dimiliki petani kecil, peladang tradisional, dan masyarakat adat dibanding membuka lahan sawah baru.
“Saya khawatir proyek sawah baru hanya dilakukan perusahaan pertanian besar. Sementara warga desa menjadi buruh tani atau kebunnya, bukan menjadi pelaku pembangunan utama mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan,” ucap Dewi.
Baca juga: Belajar Ketahanan Pangan dari Papua
Ia menuturkan, KPA melihat masih banyak tanah pertanian dan lumbung-lumbung pangan produktif yang berada di desa, tetapi belum diakui legalitasnya. Menurut Dewi, lahan-lahan produktif yang selama ini digarap oleh para petani dan peladang tradisional perlu dioptimalkan terlebih dulu. Pemerintah juga dapat menyediakan teknologi, benih, pupuk, modal, asistensi, dan eksistensinya untuk mengatasi ancaman krisis pangan di masa pandemi hingga jangka panjang.
“Pemerintah harus mulai memprioritaskan pembangunan pertanian. Pangan lokal harus diproteksi dan dijamin. Selama ini kita masih impor pangan karena lahan-lahan pertanian di Indonesia tidak dijaga dan dilindungi. Justru banyak pertanian dikonversi untuk pembangunan infrstruktur, pembangunan komoditas sawit, dan pertambangan,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani