Jakarta (Greeners) – Praktik perbudakan modern terhadap pekerja perikanan Indonesia kembali terungkap. Tiga orang anak buah kapal (ABK) dikabarkan meninggal di kapal penangkap ikan berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sedang berlabuh di perairan Busan, Korea Selatan. Lima tahun pasca terbongkarnya penindasan terhadap ABK di perairan Benjina, Indonesia, perlindungan dan kesejahteraan para pekerja tersebut masih jauh dari layak.
Kasus yang terjadi di Benjina maupun di kapal penangkapan ikan RRT hanya ujung kecil dari praktik perbudakan yang terjadi di industri perikanan tangkap dunia. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan resmi terkait kematian tiga ABK kapal asal Indonesia di kapal Long Xin 605 dan Tian Yu 8, pada Desember 2019 dan Maret 2020.
Dalam pernyataan itu disebutkan bahwa berdasarkan penjelasan kapten kapal, karena kematian ABK kapal disebabkan oleh penyakit menular, maka diputuskan untuk melarung atau membuang jenazah di tengah laut dan telah didasarkan pada persetujuan ABK.
Baca juga: Penanganan Karhutla di Daerah Butuh Pendampingan
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menilai, pernyataan dan alasan tersebut tidak dapat dipercayai seutuhnya. Praktik perbudakan modern di atas kapal penangkapan ikan, kata dia, telah menjadi kegiatan yang sering kali terjadi untuk menekan biaya produksi.
“Situasi dan kondisi kerja para ABK sangat tidak manusiawi, baik dari jam kerja berlebih (lebih dari 18 jam sehari), fasilitas makanan dan minuman yang buruk, sistem sanitasi dan kesehatan yang tidak memadai, kekerasan fisik, dan lain sebagainya,” ujar Susan dalam pernyataan resmi yang diterima Greeners, Kamis (07/05/2020).
Ia menuturkan, praktik perbudakan modern yang terjadi di atas kapal juga dibarengi dengan kegiatan lain, seperti penangkapan ikan ilegal dan perdagangan manusia. “Tidak sedikit kasus ABK yang ditipu untuk bekerja di industri kapal penangkapan ikan tanpa adanya kontrak kerja yang jelas dan gaji yang layak,” ucapnya.
Pasca terbukanya kasus perbudakan modern Benjina, pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa kebijakan, seperti Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 terkait Sertifikasi Hak Asasi Manusia di Sektor Perikanan; Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 42 Tahun 2016 terkait Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan; Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 terkait Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi HAM Perikanan.
“Namun, kita belum melihat adanya implementasi nyata dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat tersebut,” ujar Susan.
Dari kasus tersebut, KIARA mendesak pemerintah Indonesia untuk mengusut tuntas praktik pelanggaran HAM yang terjadi pada ketiga ABK Indonesia dan memberikan sanksi terhadap pelaku perbudakan termasuk industri perikanannya.
Baca juga: Karhutla Masih Terjadi di Tengah Pandemi
Pemerintah juga diminta menyelesaikan tumpang tindih kepentingan antar kementerian dan menyegerakan proses ratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, maupun Rekomendasi ILO Nomor 199 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh perikanan.
Koalisi juga menuntut agar proses pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 terkait perlindungan buruh migran yang berfokus pada sektor perikanan disegerakan. Terakhir, pengawasan terhadap industri perikanan tangkap sejak proses perekrutan pekerja sampai dengan proses penangkapan di tengah laut diperketat.
Koordinasi Antar Kementerian
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk menindaklanjuti kasus ABK Indonesia di Korea. KKP telah melakukan komunikasi dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, termasuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk memastikan kebenaran video yang sempat viral di media sosial.
Mengenai pelarungan jenazah ABK di laut (burial at sea), Menteri Edhy menjelaskan, hal tersebut dimungkinkan dengan berbagai persyaratan yang mengacu pada aturan kelautan ILO. Praktik pelarungan jenazah di laut diatur dalam Pasal 30, Seafarer’s Service Regulations ILO. Di dalamnya disebutkan bahwa, jika ada pelaut yang meninggal saat berlayar, kapten kapal harus segera melaporkannya ke pemilik kapal dan keluarga korban.
Pelarungan di laut boleh dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat. Pertama, kapal berlayar di perairan internasional; Kedua, ABK telah meninggal lebih dari 24 jam atau kematiannya disebabkan penyakit menular dan jasad telah disterilkan; Ketiga, kapal tidak mampu menyimpan jenazah karena alasan higienitas atau pelabuhan melarang kapal menyimpan jenazah, atau alasan sah lainnya; Keempat, sertifikat kematian telah dikeluarkan oleh dokter kapal (jika ada).
Baca juga: Sektor Pertanian Akan Hadapi Kekeringan
Namun, pelarungan juga tak bisa begitu saja dilakukan. Berdasarkan pasal yang sama, ketika melakukan pelarungan kapten kapal harus memperlakukan jenazah dengan hormat. Salah satunya dengan melakukan upacara kematian. Tak hanya itu, pelarungan dilakukan dengan cara saksama sehingga jenazah tidak mengambang di atas air. Salah satu cara yang banyak digunakan adalah menggunakan peti atau pemberat agar jenazah tenggelam. Upacara dan pelarungan juga harus didokumentasikan dengan rekaman video atau foto sedetail mungkin.
Perusahaan yang mengirimkan ABK Indonesia tersebut diduga telah melakukan kegiatan yang sama beberapa kali. Perusahaan itu juga terdaftar sebagai Authorized Vessel di 2 RFMO (Regional Fisheries Management Organization), yaitu Western and Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC). RFMO merupakan kerjasama pengelolaan perikanan tuna regional. Indonesia telah mengantongi keanggotaan di WCPFC dan cooperating non-member di IATTC.
“KKP akan segera mengirimkan notifikasi ke RFMO untuk kemungkinan perusahaan atau kapal mereka diberi sanksi,” ucap Edhy.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani