Jakarta (Greeners) – Pemerintah dan masyarakat daerah terutama tingkat kota dan kabupaten merupakan ujung tombak dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dalam perspektif dampak perubahan iklim, tingkat tapak juga menjadi pihak yang menerima dampak langsung GRK. Hanya saja, begitu banyak kebijakan terkait penanganan perubahan iklim di tingkat global dan nasional yang kerap membingungkan pihak daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya.
Country Director International Council for Local Environmental Inniative (ICLEI)-Local Government for Sustainability, Ari Mochamad, menilai masih banyak daerah yang rentan dalam menerapkan langkah strategis penanganan perubahan iklim. Menurutnya, daerah masih perlu pendampingan dan perhatian terutama dalam menerjemahkan kebijakan yang ada terkait perubahan iklim. Hal tersebut dia sampaikan dalam rangkaian webinar Climate Diplomacy Week 2020, Selasa (3/11/2020).
“Dalam perkembangannya kita melihat bahwa satu persoalan untuk pemerintah daerah merealisasikan program-program (penanganan perubahan iklim) pada realitas atau operasional keseharian yaitu mereka sedikit kebingungan. Kebijakan dimensi publik yang ada sangat banyak dikemas dalam satu rezim tertentu,” ujar Ari.
Pemerintah Daerah Harus Terbitkan Regulasi Perubahan Iklim yang Dapat Terukur
Ari menyebut sedikitnya tiga regulasi terkait perubahan iklim yang mengikat Indonesia. Ketiga regulasi ini yakni Kesepakatan Perancis dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR), dan Sustainabel Development Goals (SDGs). Namun, kebijakan global ini masih membingungkan pihak pemerintah daerah. Pasalnya, setiap kebijakan memiliki parameter dan panduan berbeda. Penyampaiannya pun tidak dalam waktu yang sama.
Kebijakan terkait perubahan iklim, lanjutnya, harus pemerintah pusat terjemahkan ke dalam bahasa yang lebih mudah ditakar oleh pemangku kepentingan tingkat tapak. Pemangku kepentingan tingkat tapak antara lain pemerintah daerah, masyarakat, dan praktisi lainnya. Adanya kebijakan yang lebih terukur, lanjutnya, akan menimbulkan pendekatan yang lebih efektif terutama dalam pemanfaatan tata ruang. Pendekatan ini tentu saja akan berdampak pada masyarakat yang berketahanan iklim. Pemerintah daerah, lanjut Ari, laiknya menerapkan strategi yang sesuai dengan dinamika perubahan iklim, penduduk, dan temuan teknologi.
“Di masa depan akan semakin banyak penduduk yang tinggal di kota. Kondisi tersebut berdampak pada pemanfaatan ruang dan konsumsi energi yang berdampak buruk jika tanpa pengelolaan yang baik,” imbuhnya.
Untuk itu, lanjut dia, tingkat tapak butuh satu panduan atau pedoman agar langkah pengelolaan iklim dapat berjalan dengan tepat dan baik. Pedoman tersebut harus bersifat praktis dengan program yang sederhana. Selain itu kota dan kabupaten harus bisa mengakses dana dan teknologi yang guna membangun kapasitas kelembagaan yang baik.
Baca juga: Pakar Anjurkan Kaum Urban Klaim Kembali Ruang Hidup dengan Ekonomi Ekologi
Pergantian Kekuasaan Menjadi Kendala
Ari menekankan kendala lain dalam pengelolaan iklim di tingkat tapak yaitu pola pemerintahan pusat. Menurunya, keberlanjutan pembangunan di tingkat tapak terkendala mengingat setiap lima tahun terdapat pergantiaan kepemimpinan. Di sisi lain, meski daerah memiliki komitmen, tapi pemerintah di tingkat pusat masih memiliki persoalan komunikasi dan koordinasi.
“Jadi harus benar-benar dipastikan program-program yang diimplementasikan dan diinvestasikan bisa berlanjut dan dioperasionalkan dengan baik melalui mekanisme pendanaan yang baik dan instrumen yang sederhana dan jelas bisa dipahami masuyarakat,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Aktivis Program Citarum Harum, Irma Hutabarat, menyampaikan masyarakat masih belum memahami betul pentingnya pengelolaan lingkungan. Menurutnya, masih ada kesenjangan pengetahuan antara wacana global dan nasional dengan pemahaman masyarakat dalam menjalankan kehidupan keseharian. Hal tersebut dia sampaikan berdasarkan pengalamannya dalam pelaksanaan program Citarum Harus.
“Bagaimana masyarakat tidak paham terkait climate change dan global warming, air sungai tercemar saja tidak paham. Jadi kalau kita bicara soal perubahan iklim, emisi rumah kaca, itu ada gap di masyarakat,” hemat Irma.
Dari sisi peraturan, Irma menyatakan regulasi yang mengatur pengelolaan lingkungan sudah ada. Akan tetapi, implementasi terutama penegakan hukumnya belum ada. Padahal, regulasi yang ada telah mengatur peran setiap pihak.
“Di Citarum itu banyak pabrik yang membuang limbah, tapi tidak pernah ada yang dihukum. Padahal Citarm sungai terkotor. Sampai kapan mau begini terus?” protesnya.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi