Jakarta (Greeners) – Provinsi Kalimantan Tengah akan disiapkan menjadi lumbung pangan dengan konsep food estate. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, program pertanian modern tersebut digunakan untuk mengembangkan sayuran, buah-buahan, dan aneka tanaman pangan sebagai kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Pemerintah juga akan membangun sarana produksi dan infrastruktur pertanian seperti embung dan irigasi.
Dengan program ini, pemerintah berharap produksi pertanian meningkat drastis sehingga mampu menambah kebutuhan dalam negeri dan pasar ekspor serta menumbuhkembangkan sektor pertanian secara merata.
“Bicara food estate bukan cuma padi dan jagung saja. Kita buat konsep berbasis klaster. Jadi setiap wilayah harus dipetakkan, ada klaster peternak dan lain sebagainya,” ujar Mentan Syahrul saat mengunjungi lokasi food estate dan padat karya tunai irigasi di eks lahan gambut, di Desa Gadabung Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (11/6/2020).
Baca juga: Peneliti: 5 Rejimen Kombinasi Obat Berpotensi Menghambat Virus Covid-19
Diversifikasi pangan dengan konsep pengembangan food estate akan digarap di area seluas 164 ribu hektare. Ia mengatakan cara tersebut dapat membantu provinsi di sekitarnya untuk meningkatkan produksi tanaman pangan. “Pertanian yang ingin dibuat kali ini tidak pernah ada di Indonesia. Di Kalteng kita memiliki potensi pertanian seperti di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Barito Timur,” ujarnya.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Dr. Fadjry Djufry, lahan rawa memiliki potensi pertanian untuk mendukung penyediaan pangan. Balitbangtan menyebut telah mengidentifikasi sejumlah aspek teknis, nonteknis, termasuk dukungan inovasi, dan sosial yang menjadi perhatian dalam pembukaan lahan rawa di Kalteng.
Fadjry menuturkan lembaganya telah berpengalaman dalam mengelola lahan rawa di Indonesia. “Balitbangtan telah mengembangkan dan menerapkan inovasi dan teknologi yang meliputi pembukaan lahan, tata air, alat mesin pertanian, dan penggunaan varietas unggul baru toleran lahan rawa,” kata Fadjry.
Pengelolaan lahan rawa untuk pertanian, salah satunya dilakukan di Sumatera Selatan melalui Program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani (Serasi). Dalam pengelolaan lahan rawa ini, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumsel menyebut telah mengimplementasikan berbagai inovasi teknologi yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lahan rawa di sana.
Kepala BPTP Sumsel, Atekan mengatakan, provinsi di selatan Sumatera ini memiliki lahan rawa pasang surut maupun rawa lebak sekitar 2 juta hektare. Namun, yang baru dimanfaatkan oleh para petani seluas 350 ribu hektare.
“Pada musim tanam pertama atau waktu musim hujan rata-rata produksi sekitar 3-4 ton per hektare. Setelah Balitbangtan masuk dengan beberapa komponen teknologi, produksi yang bisa kita capai di musim hujan 6-7 ton per hektare. Bahkan di beberapa lokasi yang kita dampingi bisa mencapai 8,2 ton gabah kering panen,” ujarnya.
Prioritaskan Eks Lahan Gambut
Sementara Pakar Gambut Universitas Palangkaraya, Profesor Salampak Dohong mengatakan pengembangan lahan pangan nasional dapat memprioritaskan dan memanfaatkan eks lahan proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektare. Jika membuka lahan pertanian baru, kata dia, akan memakan waktu, biaya, tenaga kerja, dan masalah sawah baru.
Menurutnya, pemerintah harus memperhatikan program jangka pendek dan panjang, misalnya, dengan menginventarisasi kondisi lahan sawah. “Sawah yang aktif kita perbaiki, kita intensifikasi dengan memasukkan berbagai teknologi termasuk kesiapan petani. Sementara sawah bongkor kita rehabilitasi atau revitalisasi,” katanya.
Baca juga: Penelitian Sampah Laut Masih Minim
Sementara opsi jangka panjang untuk mencetak sawah baru (ekstensifikasi), kata dia, harus dipilah antara lahan gambut dan tanah mineral. “Untuk lahan pertanian bisa memanfaatkan tanah mineral. Di gambut akan berhadapan dengan masalah lingkungan, produktivitasnya rendah, dan lain-lain,” ucapnya.
Ia menuturkan pencetakan lahan baru juga mesti memerhatikan ketersediaan tenaga kerja, teknologi budidaya, dan budaya lokal. “Kementerian dan lembaga di pusat dan daerah juga harus bersinergi agar tidak jalan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani