Pemda Perlu Gandeng Pengusaha untuk Kelola Sampah Organik

Reading time: 3 menit
Pengelolaan sampah organik untuk pakan maggot. Foto: Dini Jembar Wardani
Pengelolaan sampah organik untuk pakan maggot. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Industri maggot berpotensi besar sebagai solusi efektif untuk mengatasi sampah organik di Indonesia. Namun, keberhasilannya memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah daerah dan pengusaha maggot. Hal itu untuk memastikan mobilisasi yang efektif, pasokan bahan baku yang cukup, dan pengelolaan yang efisien.

Maggot atau Black Soldier Fly (BSF) adalah larva lalat yang menggunakan sampah organik sebagai sumber makanan. Dalam siklus hidupnya, larva ini berperan penting dalam mengurangi jumlah sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA), yang dapat menyebabkan peningkatan gas metana dan emisi karbon.

BACA JUGA: Maggot, Lihat Lebih Dekat agar Tahu Khasiatnya

Menurut data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), total sampah di Indonesia tahun 2023 yang mencapai 56 juta ton, sekitar 39,87 persennya adalah sampah organik. Jika dihitung per tahun, potensi sampah organik tersebut bisa mencapai antara 20 hingga 25 juta ton.

Direktur PT. Maggot Indonesia Lestari, Markus Susanto, mengungkapkan jumlah sampah organik di Indonesia sangat tinggi. Namun, pengusaha maggot seperti Markus sering menghadapi kekurangan bahan baku. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam bisnis maggot.

Untuk mengatasi masalah ini, Markus menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah daerah dan pengusaha maggot. Pemerintah dapat melibatkan pengusaha dalam pengelolaan sampah organik di daerah mereka, sehingga membantu pengusaha mendapatkan pasokan bahan baku.

Dorong Pemilahan Sampah

Markus juga menegaskan bahwa dukungan pemerintah daerah sangat penting untuk memobilisasi pengelolaan sampah organik. Sebagai pemegang kewenangan, pemerintah harus berani menerapkan aturan yang mendorong masyarakat, terutama pelaku industri seperti hotel, restoran, dan mal, untuk memilah sampah.

Aturan ini tidak hanya penting untuk memastikan pasokan sampah organik bagi pengusaha maggot, melainkan juga untuk membantu mengurangi timbulan sampah secara keseluruhan.

“Sulitnya mendapatkan sampah organik juga karena budaya pemilahan sampah memang masih sangat rendah. Namun, ketika kami bekerja sama dengan hotel, restoran, dan mal serta memberikan edukasi selama satu bulan, mereka akhirnya mulai memilah sampah mereka. Ini seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah daerah untuk mendorong pemilahan yang lebih efektif,” kata Markus dalam wawancara dengan Greeners, Senin (14/10).

Direktur PT. Maggot Indonesia Lestari, Markus Susanto. Foto: Istimewa

Direktur PT. Maggot Indonesia Lestari, Markus Susanto. Foto: Istimewa

Pentingnya Konsistensi Program Budi Daya Maggot

Saat ini, banyak pemerintah daerah melaksanakan program budi daya maggot untuk mengatasi sampah organik. Markus mengapresiasi upaya itu, salah satunya seperti di Kota Bandung. Pihaknya juga pernah ikut membantu Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung saat Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sarimukti terbakar.

Data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran se-Kota Bandung menunjukkan bahwa sampah organik yang dihasilkan mencapai sekitar 450 ton per hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 225 ton dapat dikelola oleh para pegiat maggot sebagai sumber bahan baku. Dengan potensi 225 ton pakan maggot ini, bisa dikelola oleh 22-23 pegiat budi daya maggot untuk memaksimalkannya.

Selain itu, PT Maggot Indonesia Lestari juga mendampingi beberapa daerah lainnya dalam pengelolaan sampah organik. Namun, budi daya maggot ini sering kali dianggap mudah oleh pemerintah. Mereka sering kali belum memahami tantangan yang ada dalam budi daya maggot ini.

“Saya menekankan bahwa budi daya maggot tidak semudah yang dibayangkan. Ini memerlukan pengelolaan yang profesional, keterampilan, dan pengetahuan yang memadai,” katanya.

Sebagai contoh, saat membangun PT Maggot Indonesia Lestari (MLI), Markus dan timnya telah melakukan riset mendalam. Beberapa anggota asosiasi maggot di Indonesia juga merupakan pakar di bidang ini, sehingga tidak semua orang dapat dengan mudah mengembangkan budidaya maggot.

Ia berharap agar pemerintah tidak membuat program budi daya maggot sekadar formalitas saja. Program itu perlu dipastikan berjalan secara berkelanjutan dan konsisten.

Maggot untuk Kurangi Emisi

Sementara itu, Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar menyatakan bahwa saat ini pemerintah pusat terus mengembangkan regulasi dan mendorong industrialisasi pengolahan sampah. KLHK juga mendorong semua pemerintah daerah untuk mengangkut sampah yang terpilah dan terjadwal.

“Ini akan mendukung pasokan bahan baku untuk industri maggot,” ucap Novrizal.

Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar. Foto: Istimewa

Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Novrizal Tahar. Foto: Istimewa

Senada dengan Markus, Novrizal juga berharap pemerintah daerah dapat mendorong hotel, kafe, dan restoran untuk mengumpulkan dan memilah sampah mereka. Hal ini akan menjadi potensi besar untuk pasokan sampah organik, yang dapat terwujud melalui pembuatan regulasi di masing-masing daerah.

Novrizal menekankan pentingnya pemahaman semua pemerintah daerah tentang kewajiban mereka dalam mitigasi pengelolaan sampah. Metode maggot adalah salah satu cara untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Sehingga, menjadi keharusan bagi pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah sampah sambil berkontribusi pada penurunan emisi yang berasal dari sampah organik.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top