Jakarta (Greeners) – Peruntukan tata ruang Pulau Jawa sebagai pusat industri dan menjadikan Pulau Jawa sebagai poros pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia (Jawa sentris) yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya membuat kondisi Pulau Jawa mengalami krisis ekologi karena telah terlalu parah terekploitasi.
Guru Besar Ekologi Manusia dari Institute Pertanian Bogor (IPB), Soeryo Adiwibowo menyatakan bahwa sesungguhnya berbagai kajian dan pemetaan masalah secara nyata telah meunjukkan kalau kondisi Jawa sudah terlalu parah terekploitasi. Sayangnya, kajian yang menunjukkan bahwa Jawa rentan akan bencana tidak mengubah arah perencanaan pembangunan, penyusunan maupun peninjauan ulang tata ruang pulau Jawa.
Saat ini, kata Soeryo, Indonesia sudah harus mulai memasukkan daftar-daftar industri ekstraktif negatif di negeri ini khususnya di pulau Jawa. Berdasarkan kajian yang ia lakukan bersama beberapa peneliti pada tahun 2008 menunjukkan kalau pulau Jawa sudah dalam kondisi ekologi yang buruk dengan beban eksploitasi yang tinggi.
“Kondisi lingkungan pulau Jawa semakin diperburuk dengan banyaknya pembangunan industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap, dan penambangan bahan mineral, terutama semen. Krisis ini dipicu oleh arah pembangunan yang hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi tetapi abai dengan daya dukung lingkungan serta keadilan sosial,” katanya kepada Greeners, Jakarta, Rabu (22/06).
BACA JUGA: Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia Belum Berbasis Data
Dalam petisi yang ia buat bersama dengan ratusan akademisi, tokoh agama, aktivis, serta perwakilan masyarakat adat kepada Presiden Joko Widodo terkait krisis ekologi yang mendera Indonesia, khususnya Pulau Jawa beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa meningkatnya konsumsi bahan-bahan alam dan energi di Indonesia banyak terjadi bukan karena kebutuhan lokal, melainkan karena perluasan industri ekstraktif dengan dukungan sektor keuangan dan perbankan.
Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, demikian juga pembangunan di Gombong, Jawa Tengah telah mengindikasikan kerusakan ekologis tersebut. Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang, misalnya, mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih.
CAT Watuputih merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar yang memasok sumber mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegunungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. Sekitar 10 persen di antaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Sisanya didistribusikan ke lahan pertanian.
“Jika nilai ini dievaluasi sebagai potensi ekonomi, nilai air yang dihasilkan akan melebihi nilai yang didapat dari sektor pertambangan, yang justru berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan pasokan dan distribusi air pada sumber mata air yang ada,” tambahnya.
BACA JUGA: Walhi: Bencana Ekologis Mengintai Sumatera Selatan
Semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang tinggi. Sekitar 80 persen kabupaten/kota mempunyai risiko banjir tinggi; 93 persen mempunyai risiko kekeringan yang juga tinggi. Selain itu, kondisi hutan di Pulau Jawa yang saat ini berada pada titik kritis perlu mendapat perhatian serius. Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38 persen dari seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37 persen dikelola oleh Perum Perhutani.
Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun juga semakin berkurang. Tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar, tetapi tahun 2009 merosot tinggal 800.000 hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23,1 persen. Sebanyak 123 titik DAS dan sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung, 10,7 juta hektar DAS dan sub-DAS di Pulau Jawa akan semakin terancam.
“Kondisi rawan bencana ini selaras dengan terus berkurangnya tutupan hutan di Jawa,” tegasnya.
Pemda Minim Membaca Data
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruanda Agung Sudirman, menyatakan, sejak tahun 2003 KLHK telah mengeluarkan Peta Posisi Lahan (LPM) Pulau Jawa dan Madura berdasarkan kriteria kelerengan, curah hujan, tanah, geologi, morfometri dan posisi daerah aliran sungai (DAS).
Dari peta ini, terangnya, terdapat 762 titik atau lokasi potensial wilayah rawan bencana yang tersebar di 69 kabupaten di Jawa dan Madura. Peta tersebut juga telah didistribusikan kepada pemerintah daerah sejak tahun 2006. “Padahal sejak peta itu kami distribusikan, sebanyak kurang lebih 80 hingga 90 persen kejadian bencana persis terjadi di lokasi yang sesuai dengan pemetaan kami,” ujarnya
Menurut Soeryo, jika pemerintah daerah mau mengacu pada peta tersebut, maka antisipasi bencana alam dapat dilakukan sedini mungkin.
“Pemerintah daerah kita itu hanya sedikit sekali yang mau baca data. Sehingga untuk mengambil kebijakan seringkali salah karena asal comot aja tidak ada basis datanya,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih