LONDON, 5 Augustus 2017 – Pemanasan global dan perubahan iklim bukan satu-satunya yang dihubungkan dengan emisi gas rumah kaca. Ada juga pemahaman bahwa pemanasan mempengaruhi pola makan.
Tingkat karbon dioksida yang tinggi di atmosfer juga berarti gandum, nasi, jagung, kentang dan bahan pokok lainnya akan tumbuh dengan level protein yang rendah, – dan pada tahun 2050, tambahan 150 juta jiwa di 47 negara akan menghadapi ancaman malnutrisi.
Empat dari lima orang di planet akan bergantung pada tepung dan polong-polongan untuk protein. PBB memprediksi bahwa nutrisi yang buruk sudah berdampak kepada tiga juta kematian pada anak setiap tahunnya, dan percobaan menunjukkan bahwa tingkat karbon dioksida yang tinggi di atmosfer berhubungan dengan kekurangan protein hingga 5 persen.
“Penelitian ini menekankan pada pentingnya negara yang berisiko untuk mengawasi kebutuhan nutrisi populasi mereka dan lebih fundamental, kebutuhan negara untuk bisa mengurangi emisi CO2 yang disebabkan oleh aktivitas manusia,” jelas Samuel Myers, peneliti dari Universitas Harvard di AS.
Kerugian meningkat
Myers dan koleganya melaporkan di journal Environmental Health Perspectives yang mengujicobakan tanaman yang tumbuh pada karbon dioksida yang tinggi di atmosfer menunjukkan penurunan protein hingga 15 persen.
Para peneliti menggunakan data yang tersedia untuk mengkalkulasi dampak penurunan tersebut pada asupan protein, yang bervariasi pada setiap region, berdasarkan tanaman pangan dan suplemen lainnya.
Mereka mengasumsikan tidak adanya perubahan pada protein hewani atau protein pada kacang-kacangan dan mereka juga melihat dampak pada kesehatan manusia pada abad selanjutnya, ketika manusia masih membakar bahan bakar fosil, melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer dan meningkatkan suhu rata-rata planet.
Buruk ke terburuk
Para peneliti telah berulang kali mengingatkan kenaikan suhu, dan terutama frekuensi dan intensitas dari gelombang panas, kekeringan dan banjir, yang akan mengancam ketahanan pangan global: hal ini akan mengurangi panen buah-buahan dan sayuran, berdampak kepada panen biji-bijian dan utamanya berpengaruh terhadap panen gandum pada negara dengan populasi terbanyak dan termiskin di planet.
Ironisnya, para peneliti lainnya telah berulang kali menunjukkan bahwa peralihan dari daging menjadi diet berbasis sayuran akan menjadi sangat penting dari sebelumnya dalam menghadapi perubahan iklim dan mengurangi emisi dari pertanian.
Jadi, kekurangan protein pada tanaman pangan sudah membuat keadaan buruk menjadi situasi terburuk bagi negara-negara miskin.
Tantangan kedua, kali ini berbicara tentang kekurangan mineral. Pada jurnal Geohealth, Dr Myers dan kolega yang berbeda mengingatkan bahwa tingginya level karbon dioksida juga diasosiasikan dengan rendahnya zat besi pada tanaman pangan.
Lebih dari 350 juta anak dan lebih dari satu miliar anak perempuan mengidap anemia: di dunia rumah kaca, akan kekurangan zat besi meningkat hingga 3,8 persen.
“Strategi untuk mempertahankan diet yang cukup untuk negara dan populasi yang sangat rentan, dan harus dipikirkan untuk mengurangi kerentanan untuk kekurangan nutrisi melalui asupan makanan yang lebih beragam dan bergizi, memperkaya asupan nutrisi dari tanaman pangan dan menanam tanaman yang tidak sensitif terhadap dampak CO2,” kata Dr Myers.
“Dan, tentu saja, kita perlu mengurangi emisi CO2 secepat mungkin.” – Climate News Network