LONDON, 13 Januari 2017 – Paus Beluga bereaksi terhadap perubahan iklim saat Arktik cenderung menghangat, tapi hanya beberapa individu saja. Sementara, angsa-angsa yang merupakan hewan migrasi dan dianggap bisa berkembang biak pada kondisi yang lebih hangat ternyata memiliki risiko yang tinggi, terutama bagi induknya.
Kedua penelitian membuat para ahli menebak-nebak reaksi hewan terhadap perubahan iklim. Meskipun bukti menunjukkan bahwa hewan-hewan bahkan sudah mulai menerka-nerka perubahan yang sedang dialami.
Menghangatnya Artik
Para peneliti asal AS dalam laporannya di Global Change Biology menyebutkan bahwa satu populasi paus Beluga bisa mengambil keuntungan dari panjangnya musim panas di utara, sementara populasi lainnya merasa masih berada di musim sebelum adanya perubahan iklim.
Paus Beluga, merupakan pemburu putih layaknya hantu di perairan utara. Ia bertahan hidup pada masa dingin di Laut Bering, antara dua benua, lalu akan bergerak ke arah utara saat es mencair dan Benua Artik mulai terbuka.
Paus yang memangsa ikan dan moluska di Lautan Beaufort, utara Alaska dan Kanada, cenderung meninggalkan tempat makan mereka selama musim panas dan pergi pada saat musim gugur dengan risiko kedinginan. Sementara, populasi yang berburu di Lautan Chuckchi, utara dan timur Alaska, akan menunda kepergian mereka dan mengambil keuntungan dari perairan tersebut.
Es pada musim panas kini telah semakin berkurang pada 30 tahun belakangan. Musim gugur yang lalu mencatat rekor mencengangkan dengan suhu 20°C di atas rata-rata. Hasilnya, para ahli biologi dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah populasi pertama melindungi diri dari es Artik yang tiba-tiba menumpuk, sementara populasi lainnya, secara sadar, mau mengambil risiko dan mencari keuntungan dengan tinggal di tempat yang menyediakan banyak makanan?
Pesan penting yang bisa diambil adalah paus beluga bereaksi relatif sangat cepat terhadap perubahan lingkungan hidup mereka, namun tidak bisa diharapkan adanya keseragaman reaksi tersebut dari keseluruhan populasi,” jelas Donna Hauser, peneliti utama dari Pusat Ilmu Kutub, Universitas Washington, AS.
“Apabila kita mencoba untuk mengerti bagaimana spesies ini bereaksi terhadap perubahan iklim, kita mengharapkan adanya variasi dari populasi dan waktu. Hal tersebut akan berdampak terhadap prediksi kita di masa depan.”
Teka-teki dunia kutub bukanlah hal yang baru bagi para ahli biologi tersebut. Makhluk yang bermigrasi ke Artik biasanya akan mengalami perpaduan antara musim panas yang baik dan buruk.
Beberapa predator di Benua Artik, seperti beruang kutub, yang sangat tergantung kepada es lautan, kini mengalami ancaman menghangatnya es di awal dan pembekuan di akhir. Sementara, predator dan herbivora lainya bisa bergerak ke daerah baru atau mendapatkan keuntungan dari perubahan iklim di tahun pertama dan menyerah di tahun berikutnya. Namun, saat ekosistem berubah secara drastis sebagai reaksi terhadap pemanasan global, pertaruhan yang dapat bertahan dan kalah menjadi sulit diprediksi.
Angsa Brent yang berkembang biak saat musim panas di timur laut Kanada bisa menjadi contoh, berdasarkan penelitian terbaru di Journal of Animal Ecology. Perubahan iklim berarti induk yang sedang bersarang akan lebih lama dan sukses berkembang biak pada musim panas yang lebih hangat. Namun, penelitian terbaru menyimpulkan bahwa produktivitas yang tinggi diikuti oleh tingginya angka kematian induk angsa. Hal tersebut disebabkan bahwa sarang yang ditempatkan di tanah, berada pada kondisi yang lebih baik namun sangat rentan bagi predator.
Pada musim yang buruk, para induk akan meninggalkan sarang atau tidak berkembang biak, namun mereka bertahan dan mencoba kembali pada tahun berikutnya.
Perubahan Iklim
“Kita cenderung berpikir perubahan iklim sebagai satu arah namun kita temukan populasi yang terkena dampak dengan reaksi berbeda,” jelas Ian Cleasby, dari Pusat Ekologi dan Konservasi, Universitas Exeter, Inggris.
“Populasi ini sangat sensitif terhadap perubahan saat mencapai usia dewasa, sehingga pembiakkan yang ditingkatkan mungkin saja tidak akan cukup untuk menutupi kehilangan induknya. Penelitian seperti ini sangat penting apabila kita ingin memahami bagaimana populasi hewan akan bereaksi terhadap perubahan iklim jika kita ingin mengambil keputusan dalam melindungi keanekaragaman hayati.” – Climate News Network