Tanggal 16 September 1987 merupakan peristiwa penting saat ditandatanganinya Protokol Montreal. Berdasarkan hal tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 16 September sebagai Hari Internasional untuk Pelestarian Lapisan Ozon.
Tujuan utamanya adalah untuk perlindungan lapisan ozon dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1989. Protokol ini diratifikasi oleh 36 negara termasuk Indonesia yang meratifikasinya tahun 1992. Langkah konkretnya berupa penurunan hydroflourocarbon (HFC) freeze pada tahun 2024, kemudian berlanjut dengan penurunan 10 persen dari baseline pada 2029, 30 persen dari baseline pada 2035, 50 persen dari baseline pada 2040, dan 80 persen dari baseline pada 2045. Penyempurnaan ini telah dilakukan dengan melakukan lima kali revisi yaitu pada 1990 (London), 1992 (Kopenhagen), 1995 (Vienna), 1997 (Montreal) dan 1999 (Beijing).
Terakhir berdasarkan Amandemen Kigali, pemerintah Indonesia dalam tiga tahun mendatang menargetkan untuk meratifikasi dan mengurangi konsumsi hydroflourocarbon (HFC) sampai 80 persen dari baseline 2045. Amandemen Kigali ini, dihadiri oleh 170 negara yang sepakat untuk mengurangi HFC mulai 2019 khususnya negara maju, sedangkan negara berkembang mulai tahun 2024.
Indonesia diproyeksikan mengalami peningkatan HFC pada 2009 (5.700 ton) dan 2020 (18.000 ton). Indonesia telah sukses berkontribusi dalam menurunkan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) khususnya jenis HCFC (hydrochlorofluorocarbons) selama 2013-2018 sebesar 124,36 ODP (Ozone Depleting Substances) ton.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka pelestarian lapisan ozon telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kondisi tersebut diperkuat dengan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) yang melaporkan proyeksi iklim yang telah dilakukan menunjukkan bahwa lapisan ozon akan kembali ke tingkat tahun 1980 antara tahun 2050 dan 2070.