Jakarta (Greeners) – Moratorium sawit atau langkah pemerintah melarang penerbitan izin baru sawit di sekitar kawasan hutan sejak tahun 2018 perlu penguatan. Bersamaan dengan itu, Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) jangan sampai lemah terderegulasi undang-undang baru. Lemahnya moratorium dan ISPO hanya akan mengancam tutupan hutan serta memperburuk citra sawit berkelanjutan di Indonesia.
Organisasi lingkungan nonpemerintah Kaoem Telapak mendorong pemerintah Indonesia memperpanjang moratorium terhadap konversi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit (moratorium sawit) yang sudah tiga tahun berjalan.
Desakan ini mengemuka karena dari riset lapangan Kaoem Telapak pada sejumlah kabupaten di Kalimantan Barat menemukan masih adanya praktik dan pelanggaran yang berpotensi mengancam keberadaan hutan yang tersisa.
Kepala juru kampanye Kaoem Telapak Abu Meridian menegaskan, perlu perbaikan tata kelola sawit di Indonesia. Perbaikan itu meliputi penguatan moratorium sawit dan sertifikasi sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO) yang transparan dalam proses monitoringnya.
ISPO adalah kebijakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia. Sertifikasi ini juga bertujuan mengurangi gas rumah kaca dan kelestarian lingkungan dari penanaman sawit.
Senada dengan itu, Juru kampanye sawit Kaoem Telapak Rahmadha Syah mengungkapkan, kehadiran Omnibus Law (UU Cipta Kerja) memberi konsekuensi pada ISPO. Oleh sebab itu dia mengingatkan jangan sampai ISPO semakin lemah atas terbitnya UU itu.
“Dalam ISPO baru hasil revisi, ada pemantauan independen. Masyarakat bisa memberi masukan dari proses sertifikasi. Namun tidak ada aturan rinci untuk pemantauan independen tersebut,” katanya dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (12/10).
Praktik Moratorium Sawit di Lapangan
Dari riset data dan lapangan di dua lokasi yakni Kabupaten Sintang dan Kubu Raya Kalimantan Barat terhadap dua perusahaan bersertifikasi ISPO dan nonISPO periode Januari 2020-Februari 2021, Kaoem Telapak dengan mitranya Environmental Investigation Agency (EIA) menemukan penyimpangan.
Rahmadha menjelaskan, temuan itu berupa adanya perpanjangan izin lokasi yang cacat hukum, konflik sosial dengan masyarakat desa sekitar konsesi, pengesahan perizinan tidak sesuai aturan perundangan. Selain itu juga terjadi pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Adapula temuan penanaman sawit di luar dari area yang perizinan tetapkan.
“Kami apresiasi di tingkat nasional peta tutupan kelapa sawit mencapai 16,38 juta hektare (ha). Namun moratorium sawit berjalan kurang transparan. Moratorium masih jauh dari harapan,” ucapnya.
Juru kampanye EIA Siobhan Pearce mengungkap, pada tahun 2020, Indonesia melaporkan turunnya laju deforestasi seluas 115.459 ha. “Walaupun demikian, kami sangat khawatir langkah ini dapat terkendala akibat Omnibus Law (UU Cipta Kerja). UU ini berpotensi mengancam kebijakan sosial dan lingkungan karena mendorong investasi dan pembangunan,” kata Pearce dalam keterangannya.
Dalam laporan baru berjudul Deforestation and Deregulation dari Kaoem Telapak dan EIA yang berbasis di London ini memperlihatkan bahwa pembukaan hutan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan korupsi masih terjadi di sektor sawit Indonesia.
Kaoem Telapak memperkirakan masih ada sekitar 3,37 juta ha konsesi sawit terdapat di dalam kawasan hutan, dengan sebagian besar lahan masih berhutan. Menurut Pearce, moratorium ini merupakan alat untuk mengendalikan dampak terburuk akibat perluasan sawit.
“Kami sangat mengimbau Pemerintah Indonesia agar memberlakukan kembali larangan penerbitan izin sawit baru sebagaimana telah diberlakukan selama tiga tahun terakhir,” tegasnya.
Sementara itu pada tahun 2019, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 81 % dari semua perkebunan sawit melakukan pelanggaran hukum. Walaupun 38% dari semua konsesi industri yang ada saat ini telah bersertifikasi ISPO.
Terkendala Pemadanan Data
Dari temuan Kaoem Telapak, organisasi ini menemukan kesulitan memadankan data ke pemerintah. “Saat kami konfirmasi temuan kami ke ATR/BPN, mereka tidak memberi data yang kami maksud,” kata Juru kampanye sawit Kaoem Telapak Denny Bhatara dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, jika moratorium bergandengan dengan penegakan hukum (law enforcement) serta ada transparansi ISPO sangat berkontribusi dalam menjaga hutan dari kerusakan.
Kekhawatiran deregulasi dengan adanya UU CK terhadap moratorium dan ISPO juga harus terjawab dengan penguatan kedua aspek ini. “Kalau ada law enforcement, Indonesia boleh berbangga kalau sawit kita benar-benar berkelanjutan,” tandasnya.
Catatan Kaoem Telapak mengungkap, Indonesia menjadi negara bertutupan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Sayangnya Indonesia pun kehilangan tutupan hutan yang signifikan karena penebangan, perambahan, kebakaran hutan dan konversi hutan.
Konversi hutan menjadi perkebunan khususnya kelapa sawit menjadi salah satu penyebab utama tinggi deforestasi di Indonesia. Saat kebakaran hutan tahun 2019, hampir 80 % lahan yang terbakar selanjutnya menjadi areal perkebunan termasuk kelapa sawit.
Sejak tahun 1910, areal perkebunan kelapa sawit terus berkembang. Tahun 1967 totalnya mencapai 105.808 ha. Namunn semakin meluas dan pada tahun 2019 menjadi 16,38 juta ha, terluas di dunia. Produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai 40 juta ton pada tahun 2020. Lalu target tersebut naik menjadi 52,3 juta ton di tahun 2021.
Penulis : Ari Rikin