Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong pemakaian Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat pelaku kejahatan satwa. Hal ini bertujuan agar hukuman bagi para pemburu dan pedagang satwa liar dilindungi di Indonesia bisa lebih berat.
Sekretaris Direktorat Jendral Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum), Kemal Amas dalam keterangannya mengatakan, saat ini kasus perburuan dan perdagangan satwa liar hanya dihukum rata-rata paling berat 2 tahun penjara atau masih di bawah ketentuan hukuman maksimal dalam UU Nomor 5 Tahun 1990. Kekuatan Hukum ini dianggap masih belum memberikan efek jera bagi para pelaku karena yang sering terjadi adalah para pelaku yang ditangkap merupakan orang dan jaringan yang sama.
“Itu sebabnya pemerintah saat ini sedang mengajukan revisi UU No. 5 tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya agar hukuman pidana bagi pelaku kejahatan satwa dapat dijatuhkan lebih dari 5 tahun penjara dan denda di atas Rp 100 juta,” jelasnya, Jakarta, Jumat (03/02).
BACA JUGA: Hukuman Ringan, Angka Perdagangan Satwa Liar Terus Meningkat
Dirjen Gakkum sendiri, katanya, melihat adanya peluang besar untuk memakai UU Tindak Pindana Pencucian Uang untuk bisa menjerat pelaku dengan hukuman yang lebih berat. Untuk itu Dirjen Gakkum KLHK mengajak kepolisian, kejaksaan dan PPATK merumuskan upaya peningkatan penegakan hukum dengan mendorong penggunaan pasal tentang kejahatan pencucian uang.
Perwakilan dari PPATK Beren Rukur Ginting dalam keterangan yang sama menyatakan memberi dukungan bagi penerapan sistem anti pencucian uang dalam kasus perdagangan satwa di Indonesia. Menurutnya kejahatan satwa ini bukan lagi kejahatan biasa, tapi sudah menjadi kejahatan terorganisasi dan juga merupakan kejahatan transaksional lintas negara. Hasil penelitian Jaringan Pendidikan Lingkungan tahun 2014 kerugian negara yang ditimbulkan akibat perdagangan satwa mencapai Rp 9 triliun per tahun.
“Di tingkat global, kejahatan satwa menduduki rangking nomor tiga dari bisnis ilegal setelah narkoba dan perdagangan manusia. Kejahatan ini seringkali ditemukan berentetan dengan penipuan, pemalsuan, kekerasan, korupsi dan pencucian uang,” katanya melanjutkan.
BACA JUGA: ProFauna Desak Pelaku Perdagangan Satwa Liar Dihukum Berat
Direktur Sumatera WWF Indonesia Anwar Purwoto mengatakan, praktik perburuan dan perdagangan satwa menjadi salah satu yang mendorong cepatnya laju kepunahan berbagai satwa langka di Sumatera. Tingginya nilai keuntungan yang diperoleh dari perdagangan ilegal satwa langka, termasuk memperdagangkan bagian tubuhnya telah memicu terus berlangsungnya kejahatan terhadap satwa ini dan melibatkan banyak pihak mulai dari pemburu satwa liar di desa-desa, bandar (toke), penampung, taxidermist (pembuat satwa awetan -ofset) satwa eksportir ilegal, hingga penerima di negara tujuan.
“WWF Indonesia mencatat adanya permintaan yang tinggi terhadap satwa langka, termasuk bagian bagian tubuhnya baik di dalam maupun luar negeri untuk dijadikan satwa peliharaan, obat, hiasan, obat-obatan tradisional juga menjadi pemicu terus berlangsungnya perburuan dan perdagangan satwa langka dan satwa dilidungi,” kata Anwar.
Sebagai informasi, menurut data WWF Indonesia tentang kejahatan satwa di Indonesia mencatat ada 8 ton gading gajah beredar di Sumatera selama 10 tahun terakhir, lebih dari 100 orang orangutan diselundupkan keluar negeri tiap tahun, lebih dari 2.000 kukang diperdagangkan di Jawa dan juga diselundupkan ke luar negeri, dan 2.000 ekor tringgiling dijual ilegal keluar negeri setiap bulan serta setiap tahun 1 juta telur penyu diperdagangkan di seluruh Indonesia.
“Perdagangan satwa di sosial media di Indonesia juga telah marak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir tercatat 74 ekor orangutan diperdagangankan secara daring dan 15 harimau diperdagangkan melalui facebook,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih