Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama komunitas, organisasi maupun asosiasi yang fokus pada pendakian gunung tengah menyusun pedoman prosedur pendakian bersih sampah untuk para pecinta alam yang ingin mendaki gunung baik di kawasan Taman Nasional maupun di luar kawasan Taman Nasional.
Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan KLHK Ujang Solihin Sidik kepada Greeners mengakui bahwa permasalahan sampah memang sangat luas. Selain di perkotaan, sampah di laut dan gunung masih menjadi persoalan yang sulit diatasi. Salah satu upaya untuk mencari solusi bagaimana para pendaki tidak lagi menjadi penyebab utama menumpuknya sampah digunung, maka para pendaki harus mulai diberikan pedoman agar pendakian yang dilakukan tidak merugikan alam dan vegetasi di gunung.
“Kita akan mendorong agar pedoman ini harus dipatuhi dan menjadi panduan bagi para pendaki secara umum agar naik gunung itu jangan lagi ‘nyampah’ gitu loh. Pendekatannya ya bagaimana mengubah perilaku para pendaki ini nantinya. Kami targetkan akhir tahun 2017 pedomannya selesai,” terang pria yang akrab disapa Pak Uso ini, Jakarta, Rabu (29/03).
BACA JUGA: Standarisasi Pelayanan Jasa, Pemandu Gunung Kini Diminta Bersertifikat
Soma Suparsa, anggota Wanadri atau Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung yang juga terlibat dalam penyusunan pedoman tersebut, mengapresiasi pembentukan pedoman prosedur pendakian bersih sampah ini. “Pembentukan pedoman ini sangat perlu sekali. Walau terlambat, tapi ya tidak apa-apa. Kita masih butuh pedoman ini, apalagi inisiatornya sudah ada,” ujarnya.
Ia berharap nantinya pedoman ini mampu dijadikan acuan bagi pembuatan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur maupun Peraturan Desa terkait pariwisata gunung. Namun sebelum regulasi resmi dari pemerintah keluar, ia meyakini kalau pedoman ini nantinya bisa dijadikan panduan bagi semua pihak dalam melakukan pendakian.
Terkait masalah perilaku para pendaki, Kang Soma, panggalian akrabnya, justru mempertanyakan esensi dasar atau tujuan yang ingin dicapai oleh para pendaki belakangan ini. Menurutnya, tiga tujuan dasar mendaki gunung sudah tidak terlihat lagi dari para pendaki saat ini.
“Kalau menurut saya tujuan naik gunung itu kan ada tiga. Satu, sebagai pendidikan atau mengedukasi diri. Lalu kedua, sebagai rasa syukur kepada Tuhan dan ketiga itu penelitian. Kalau kita punya tujuan yang jelas, maka perilakunya pasti akan jelas. Nah tujuan ini yang saya rasa sudah berkurang. Sekarang naik gunung hanya untuk eksistensi saja sehingga perilakunya tidak terkontrol,” katanya.
BACA JUGA: Taman Nasional Gunung Rinjani Terapkan Sistem Baru Bagi Pendaki Pada 2017
Salah satu cara mengurangi tumpukan sampah di gunung pun bisa dilakukan dengan membatasi pendakian. Bima Saskoundra, Ketua Bidang Organisasi, Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) mengatakan, pembatasan pendaki ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, lanjut Bima, dari pembatasan jumlah pendaki, bisa dari rentang waktu pendakian atau bisa juga dari jumlah izin hari pendakian dan ada juga penutupan recovery gunung.
“Gunung Gede mengaplikasikannya dua, rentang waktu dan jumlah pengunjung. Untuk izin harian, Gunung Gede hanya memberi izin naik itu dua hari satu malam karena izin juga mereka kunci. Recovery gunung di Gunung Gede itu di tanggal 1 Januari sampai 31 Maret gunung ditutup. Bulan Agustus juga ditutup, itu udah mengurangi empat bulan dalam satu tahun. Jadi, hanya ada 8 bulan dalam satu tahun kita bisa naik gunung,” katanya.
Menurut Bima, hingga saat ini gunung-gunung yang disiplin dalam menerapkan jumlah pengunjung, lama pendakian dan bulan pendakian hanya Gunung Gede, Jawa Barat. Gunung Semeru sendiri, lanjutnya, sudah disiplin terhadap jumlah pendaki dan bulan pendakian. Namun hari pendakian masih belum disiplin karena memang variannya berbeda. Sedangkan Gunung Rinjani sedang disusun aturan-aturannya. “Gunung-gunung yang lain saya belum lihat disiplinnya,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih