Jakarta (Greeners) – PBB mengawasi dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam industri kelapa sawit di Sulawesi Tengah yang melibatkan Astra Agro Lestari (AAL). Dalam surat tersebut, PBB merinci pelanggaran yang telah didokumentasikan oleh akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat terdampak selama puluhan tahun.
Special Rapporteurs dan Kelompok Kerja PBB mengirim surat tersebut pada Oktober 2024 dan mempublikasikannya pada minggu ini. Mereka mengungkapkan pelanggaran luas dalam industri kelapa sawit yang semakin menambah keprihatinan atas operasi AAL, perusahaan kelapa sawit besar Indonesia. Surat itu mereka tujukan kepada AAL, induk perusahaannya Jardine Matheson dan Astra International, serta perwakilan pemerintah Indonesia dan China.
BACA JUGA: 3,12 Juta Hektare Sawit Ilegal Ancam Kepunahan Satwa Endemik
PBB juga mengungkapkan keprihatinan terhadap perampasan tanah, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap pembela HAM. Surat tersebut juga menyoroti degradasi lingkungan hidup dan terbatasnya akses petani terhadap tanah yang mereka butuhkan untuk berkebun.
PBB menyatakan bahwa “kekerasan, intimidasi, kriminalisasi terhadap para petani yang melakukan protes dan impunitas secara keseluruhan telah menimbulkan suasana takut dan kekerasan yang membuat masyarakat merasa takut untuk terus aktif mempertahankan tanah dan hak-hak mereka.” Meskipun PBB sudah meminta AAL untuk menanggapi dalam dua bulan, AAL dan perusahaan induknya belum menjawab.
Perampasan Lahan dan Kekerasan
Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian menegaskan bahwa AAL harus segera menghentikan perampasan lahan, pengrusakan lingkungan, serta intimidasi dan kriminalisasi terhadap para pembela HAM.
“Perusahaan harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang mereka lakukan,” ujar Uli lewat keterangan tertulisnya, Selasa (10/12).
Masyarakat yang terdampak juga menyerukan agar tanah yang diambil tanpa persetujuan dikembalikan dan meminta ganti rugi atas kerugian yang terjadi. Uli juga mendesak pemerintah Sulawesi Tengah dan pemerintah pusat untuk membentuk satuan tugas guna menyelesaikan konflik ini.
Selain itu, ia menuntut moratorium permanen untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Hal ini untuk dapat mencegah deforestasi dan konflik lahan yang lebih besar.
Laporan Kekerasan AAL
Pada bulan lalu, Friends of the Earth merilis laporan terbaru tentang kekerasan, intimidasi, dan ancaman kriminalisasi oleh AAL. Laporan tersebut mencakup informasi bahwa aparat keamanan Indonesia melepaskan tembakan untuk menekan aksi protes. Anak perusahaan AAL, PT Agro Nusa Abadi (ANA), dilaporkan memanen buah kelapa sawit di lahan yang sedang disengketakan.
Laporan ini juga mencatat bahwa masyarakat yang terlibat dalam protes menerima surat panggilan atas tuduhan pencurian kelapa sawit. Selain itu, laporan ini menyoroti klaim mencurigakan mengenai langkah AAL dalam menyelesaikan konflik dan menangani keluhan masyarakat.
Koordinator Program Hutan di Milieudefensie (Friends of the Earth Belanda), Danielle van Oijen mengungkapkan bahwa PBB telah mengakui ancaman yang produksi minyak kelapa sawit industri dan AAL timbulkan. Ini sebagai langkah penting bagi masyrakat untuk mendaptkan ganti rugi dan pemulihan.
“Solusi terbaik adalah dengan mengembalikan lahan kepada masyarakat dan mendorong pertanian berbasis masyarakat serta pengelolaan hutan daripada model produksi industri kelapa sawit yang merusak,” kata Danielle.
Kekhawatiran Semakin Meningkat
Di samping itu, kekhawatiran terhadap dampak AAL terhadap hak asasi manusia semakin meningkat. Perusahaan ini tengah pemerintah investigasi terkait dugaan korupsi dan pencucian uang di industri kelapa sawit.
Tiga anak perusahaan AAL yang beroperasi di Sulawesi Tengah – PT ANA, PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS), dan PT Sawit Jaya Abadi (SJA) sebagai bagian dari investigasi tersebut. Menurut artikel tersebut, sejumlah pejabat dan mantan pejabat AAL telah dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.
BACA JUGA: Menengok Penataan Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan pada UU Cipta Kerja
Berdasarkan hasil identifikasi, tiga perusahaan tersebut tidak memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU). Hal ini terungkap dalam laporan Friends of the Earth bulan Juni 2024. Isinya terkait kajian pelanggaran tata kelola dan pelanggaran izin yang AAL lakukan.
Laporan bulan Juni 2024 tersebut mengindikasikan bahwa PT RAS dan PT SJA tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung di Indonesia. Laporan tersebut juga menemukan adanya kejanggalan dalam perizinan milik masing-masing perusahaan dan meragukan legalitas operasi mereka.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia