Jakarta (Greeners) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan melakukan pengkajian penanganan pascabencana gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Dari hasil kajian tersebut, LIPI menilai para korban yang selamat dari bencana sudah mulai memulihkan diri.
“Saat kami di sana sudah ada yang menjual minuman dan nasi kuning. Ketika kami tanya kapan mulai berjualannya itu sudah sekitar 2-2,5 bulan yang lalu,” ujar Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Gusti Ayu Ketut Surtiari pada acara seminar Hasil Kajian Penanganan Pascabencana di Palu, Sigi, dan Donggala: Pemulihan untuk Tempat Tinggal dan Sumber Penghidupan di Ruang Rapat Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta, Selasa (15/01/2019).
BACA JUGA: Kearifan Lokal, Mitigasi Bencana yang Terlupakan
Dalam kajiannya, tim peneliti LIPI memetakan tiga sumber mata pencaharian utama yang terdampak bencana di Palu, Sigi, dan Donggala, yakni pertanian, perdagangan, dan perikanan laut. Pada sektor pertanian, LIPI merekomendasikan perlunya penentuan status lahan pertanian yang hilang serta kompensasi akibat bencana agar dapat dijadikan modal usaha tani bagi pemiliknya.
Ayu mengatakan untuk sektor kelautan, rekomendasi yang diberikan tim peneliti adalah adanya bantuan kepada nelayan tradisional berupa peralatan, juga sarana untuk menyimpan ikan agar tetap segar yang bisa digunakan oleh istri-istri nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapan suaminya.
“Untuk kelompok nelayan di sana sudah ada yang mendapatkan bantuan ketinting (perahu motor) yang digunakan secara bergiliran. Ternyata kelompok nelayan di sana lebih mudah untuk kembali beraktivitas karena mereka terbiasa kerja selain menjadi nelayan. Jadi selain melaut, mereka juga mengambil besi dari reruntuhan yang dijual kepada pengepul, hasilnya pun lumayan,” kata Ayu.
BACA JUGA: Mitigasi Bencana Belum Maksimal, Pemerintah Diminta Audit UU Penataan Ruang
Pada sektor niaga, LIPI merekomendasikan pentingnya bantuan modal dan tempat usaha untuk pedagang yang disesuaikan dengan kebutuhan jenis usaha dagang dan skala usahanya. Selain itu, LIPI juga merekomendasikan penyediaan dan peningkatan akses informasi, modal, keterampilan, teknologi dan akses pasar yang lebih luas bagi korban yang selamat dari bencana atau penyintas serta bimbingan dalam kegiatan usaha.
“Para korban ini sudah mulai bangkit, namun pemulihan dan apa yang mereka lakukan ini sifatnya hanya jangka pendek dan spontan. Oleh karena itu peran pemerintah terus didorong untuk pemulihan ekonomi jangka panjang,” ujar Ayu.
Terkait bantuan pemerintah, Kementerian Sosial yang diwakili oleh Kasubdit Penanganan Korban Bencana Alam, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, Iyan Kusmadiana mengatakan bahwa Kemensos selalu melakukan pendampingan psiko sosial dan sampai saat ini masih dilakukan kepada para penyintas.
“Pendampingan ini diberikan karena kami melihat kecemasan dan ketakutan dari para korban karena gempa dan tsunami tersebut. Selain bantuan fisik, bantuan non fisik yang menyangkut psikis ini juga penting untuk mengembalikan rasa tenang dan nyaman. Hasilnya, para korban ini lambat laut sudah bangkit, apalagi ketika mereka melihat ada pelayanan dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat Indonesia yang saling membantu. Hal itu memberikan dampak psikologis yang sangat bagus,” kata Iyan.
Iyan mengatakan bahwa pemerintah menargetkan dua tahun untuk pemulihan penyintas. Pemulihan ini meliputi tempat tinggal, ekonomi, mata pencaharian, serta sosialisasi adaptasi masyarakat itu sendiri.
Penulis: Dewi Purningsih