Pasca Tsunami di Selat Sunda, Aktivitas Gunung Anak Krakatau Tetap Tinggi

Reading time: 3 menit
gunung anak krakatau
Sebagian lereng Gunung Anak Krakatau mengalami longsor pada tanggal 22 Desember 2018. Foto: KKP

Jakarta (Greeners) – Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda hingga pagi ini (27/12/2018), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian ESDM menaikan status aktivitas Gunung Anak Krakatau dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga) terhitung pukul 06.00 WIB. Peningkatan status ini dikarenakan kemarin (26/12/2018) dilaporkan terjadi hujan abu vulkanik di beberapa wilayah, yakni di Cilegon, Anyer dan Serang.

Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo menyampaikan bahwa peningkatan status ini didasarkan pada hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 27 Desember 2018 pukul 05.00 WIB.

“Sehubungan dengan tingkat aktivitas Level III tersebut, masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 5 km dari kawah. Saat hujan abu turun, masyarakat diminta untuk mengenakan masker dan kacamata bila beraktivitas di luar rumah,” ungkap Purbo pada konferesi pers di Gedung Kementerian ESDM Jakarta, Kamis pagi (27/12/2018).

BACA JUGA: BMKG: Tsunami di Selat Sunda Bukan Karena Gempa Bumi 

Menurut siaran pers yang diterima oleh Greeners, terkait potensi bencana erupsi Gunung Anak Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 km merupakan kawasan rawan bencana. Potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar, aliran lava dari pusat erupsi dan awan panas yang mengarah ke selatan. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.

Aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau pasca pembentukan dimulai sejak tahun 1927, pada saat tubuh gunung api masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 1929. Sejak saat itu dan hingga kini Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar).

Purbo mengatakan, saat ini Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi eksplosif lemah (strombolian) dan erupsi efusif berupa aliran lava. Sejak tanggal 29 Juni 2018, Gunung Anak Krakatau kembali mengeluarkan letusan hingga tanggal 22 Desember berupa letusan strombolian.

“Tanggal 22 Desember, seperti biasa hari-hari sebelumnya, Gunung Anak Krakatau mengeluarkan letusan. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 – 1.500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama ada info tsunami,” kata Purbo.

Berdasarkan citra satelit yang diterima oleh PVMBG, sebagian besar dari tubuh Gunung Anak Krakatau telah hilang dilongsorkan, yang kemudian diketahui menyebabkan tsunami di beberapa wilayah di Provinsi Lampung dan Banten.

BACA JUGA: BPPT Kembali Ingatkan Pentingnya Alat Deteksi Tsunami 

Lebih lanjut, Purbo menjelaskan, pasca kejadian tsunami tersebut, aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap tinggi. Secara visual gunung api terlihat jelas hingga tertutup kabut. Teramati asap kawah utama berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tipis hingga tebal dan tinggi sekitar 500 meter dari puncak. Angin bertiup lemah hingga sedang ke arah utara dan barat daya. Kegempaan masih didominasi oleh tremor menerus dengan amplitudo mencapai 32 mm (dominan 25 mm).

Perkembangan tanggal 22-26 Desember 2018, teramati asap kawah utama berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tipis hingga tebal dan tinggi sekitar 200-1.500 meter dari puncak. Berdasarkan data citra Sentinel tanggal 11 Desember 2018 dan 23 Desember 2018 terlihat bahwa sebagian lereng sektor Barat sampai Selatan terlihat telah mengalami longsor yang diperlihatkan dari perbandingan citra sebelum dan sesudah kejadian tsunami. Pada periode tersebut terjadi gempa tremor menerus dengan amplitude 08-31 mm, dominan 25 mm.

Pada tanggal 26 Desember 2018 terjadi letusan berupa awan panas dan surtseyan. Awan panas ini yang mengakibatkan adanya hujan abu termasuk yang terekam pada 26 Desember 2018 jam 17.15 WIB dari Pos Kalianda melaporkan suara gemuruh dengan intensitas tinggi.

Penulis: Dewi Purningsih

Top