Jakarta (Greeners) – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menganggap upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memfasilitasi dan memberikan solusi atas perpanjangan moratorium Permen Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik masih belum maksimal sehingga menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Arman Manila, Pelaksana Sekretaris Jenderal KIARA, mengatakan, beberapa contoh kasus yang dialami masyarakat memperlihatkan masih lemahnya upaya KKP dalam memfasilitasi dan memberikan solusi atas perpanjangan moratorium tersebut.
Ia menyebutkan, pada tanggal 20 Desember 2016 lalu, tim KKP mewawancarai 6 orang nelayan cantrang yang berharap adanya solusi efektif dari negara pada masa peralihan alat tangkap cantrang, yakni Kusmiyanto, Muhammad Maftuh, Eko Santoso, Tri Hariyanto, Mahmudi dan Suwardi.
BACA JUGA: Implementasi Poros Maritim, Kesejahteraan Nelayan Masih Terpinggirkan
“Namun pasca video wawancara keenam nelayan tersebut diunggah di channel Youtube, Kusmiyanto diintimidasi oleh oknum yang pro terhadap cantrang. Pada tanggal 21 Januari 2017, Kusmiyanto dipanggil ke Balai Desa Tanjungsari, Rembang, Jawa Tengah tanpa didampingi oleh siapapun dan di ‘sidang’ oleh kelompok pro cantrang. Kusmiyanto diancam akan dibunuh, dibakar dan dipukul oleh helm,” katanya, Jakarta, Senin (23/01).
Menurut Arman, inisiatif yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mendorong pengelolaan pesisir Indonesia yang berkelanjutan melalui Permen Nomor 2/PERMEN-KP/2015 sebenarnya cukup baik, namun KIARA menilai perlu ada upaya konkrit dari KKP dalam masa transisi ini karena masyarakat menjadi rentan terlibat konflik sesama nelayan.
Di Rembang, Jawa Tengah, misalnya, nelayan terpaksa tetap melaut di atas 12 mil dengan menggunakan cantrang, sementara aturan moratorium dalam masa transisi penggunaan alat cantrang hanya memperbolehkan melaut di bawah 12 mil. Di tahun 2016, Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat 30 kasus penangkapan nelayan yang terpaksa melaut di atas 12 mil agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
“Penangkapan nelayan memberikan implikasi bagi kehidupan masyarakat pesisir, nelayan menjadi takut untuk melaut, meningkatnya jumlah nelayan yang terjebak dalam skema hutang, dan maraknya nelayan yang beralih profesi,” tambahnya lagi.
BACA JUGA: Dampak Perubahan Iklim, Petani dan Nelayan Juga Perlu Asuransi
Di sisi lain, sepanjang tahun 2016, 90 persen nelayan di Kendal, Jawa Tengah, telah beralih profesi dari nelayan cantrang menjadi ABK atau pekerja perikanan baik di kapal asing maupun kapal nasional. Hal ini diperburuk dengan belum adanya payung perlindungan dari negara untuk pekerja perikanan Indonesia.
“KIARA menilai konflik horizontal yang terjadi di masyarakat khususnya antara pengguna cantrang harus segera disikapi oleh KKP. Terlebih lagi hari Senin, 23 Januari 2017, keenam nelayan cantrang yang diwawancarai oleh KKP akan ‘disidang’ oleh warga yang pro cantrang. Ini menjadi catatan penting bagi kita semua, di tingkat masyarakat terbagi jadi dua kubu dan pemerintah wajib segera memberikan solusi dan perlindungan bagi nelayan Indonesia,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih