Jakarta (Greeners) – Dunia akhirnya sepakat berkomitmen untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi hingga berada di bawah 2 derajat Celcius dan berupaya menekannya hingga 1,5 Celcius. Pelaksanaan kesepakatan hasil Pertemuan Para Pihak ke-21 (COP 21) Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) ini berarti kerja keras bagi semua negara, tidak terkecuali Indonesia yang sedang menggenjot pembangunan.
Indonesia yang termasuk dalam kelompok negara berkembang, memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menguatkan dan memastikan pelaksanaan kebijakan dari Kesepakatan Paris (Paris Agreement) bisa berjalan secara konsekuen di lapangan, baik dari sisi pemerintah maupun swasta dan masyarakat luas.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin kepada Greeners menyatakan bahwa pekerjaan rumah yang dimiliki Indonesia seperti mitigasi pengurangan emisi di sektor kehutanan, energi, industri dan transportasi harus diselesaikan.
“Dalam beberapa hari ke depan, kita akan melakukan rapat evaluasi antara delegasi dan menyusun langkah untuk implementasi dan menyiapkan untuk sesi pertemuan tengah tahun berikutnya pada bulan Mei 2016 karena banyak sekali pekerjaan rumah yang harus dilakukan,” ujarnya, Jakarta Rabu (16/12).
Terkait dengan Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) Indonesia, lanjutnya, pemerintah masih harus membagi tiap sektor. Dari target 29 persen pengurangan emisi karbon, pemerintah harus mulai membagi dari sektor mana saja pengurangan emisi tersebut akan dilakukan. Di dalam perjanjian tersebut juga, ada sistem REDD+ dan keterlibatan masyarakat adat yang harus ditindak lanjuti.
“Kepentingan nasional yang masuk dalam Paris Agreement itu ada isu kelautan, pusat konservasi keanekaragaman hayati dan penegasan tentang REDD. Tentang pendanaan juga disebutkan bahwa negara maju seharusnya menyediakan dukungan finansial, walau nilai bantuan USD 100 Miliar per tahun tidak masuk pasal perjanjian melainkan dalam keputusan COP 21. Dari gambaran keputusan yang sangat rinci tersebut, Indonesia akan siap,” jelas Nur.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam jumpa persnya beberapa waktu lalu memaparkan kalau komitmen Indonesia seperti yang tertera di dalam INDCs pada pelaksanaan COP 21 UNFCCC di Paris Perancis, masih sangat kontradiktif jika melihat rencana pembangunan nasional yang masih berisiko tinggi.
Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan Walhi Khalisah Khalid menyatakankan bahwa sejak awal, Walhi telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal sudah diketahui kalau sumber emisi Indonesia sebagian besar dari Land use, Land Use Change and Forestry (LULUCF).
Pemerintah Indonesia, menurut dia, seharusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.
Sedangkan Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi Kurniawan Sabar juga mengatakan, jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, antara lain di sektor energi ada program pembangunan pembangkit listrik mencapai 35.000 Megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara. Sementara batubara adalah energi kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia.
Pemerintah pusat dan daerah juga memiliki rencana untuk melakukan reklamasi pantai. Setidaknya, ada 14 kota sedang dan akan melakukan reklamasi. Dalam konteks komitmen untuk memperkuat ketahanan pesisir dan pulau kecil sebagaimana tertuang dalam RPJMN, kondisi ini jelas sangat bertolak belakang dalam komitmen Indonesia pada INDCs.
Penulis: Danny Kosasih