Jakarta (Greeners) – Sudah satu bulan gempa Lombok terjadi. Akibat gempa tersebut sebanyak 506 orang meninggal dunia, 431.416 orang mengungsi, dan 74.361 unit rumah rusak. Terhadap besarnya kerugian yang ditimbulkan akibat bencana gempa bumi ini, pemerintah menyatakan terus melakukan upaya untuk menanggulangi bencana dan terus memantau gempa susulan secara cepat.
Deputi bidang Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Muhammad Sadly menyatakan BMKG terus berupaya memberikan informasi yang akurat dan cepat kepada masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi BMKG. Informasi ini dapat diakses oleh masyarakat kapan pun melalui gawai.
“BMKG bekerja selama 24 jam, tujuh hari dalam satu minggu. Informasi BMKG bisa diakses dari gadget, telepon selular, di kantor pemerintah daerah atau di tempat pengungsian agar masyarakat juga bisa melakukan evakuasi mandiri saat menerima informasi tersebut. Kebanyakan masyarakat yang selamat biasanya yang bisa mengevakuasi dirinya secara mandiri,” kata Sadly kepada Greeners, Senin (27/08/2018).
BACA JUGA: 131 Orang Meninggal Dunia, Penanganan Darurat Gempa Lombok Diintensifkan
Saat ini BMKG juga sudah mempunyai sistem peringatan informasi gempa bumi di tempat-tempat pengungsian. Alat tersebut juga mampu memberi informasi mengenai potensi terjadinya tsunami kurang dari 5 menit setelah terjadi gempa bumi sehingga masyarakat mampu melakukan penyelamatan secara mandiri lebih cepat.
Lebih lanjut Sadly menjelaskan, pada 5 menit pertama informasi gempa bumi berupa parameter waktu kejadian, lokasi, magnitude dan kedalaman. Selanjutnya ada proposal tsunami atau tidak dari sistem.
“Rata-rata waktu tiba tsunami untuk tsunami lokal di Indonesia sekitar 20-30 menit, kecuali pulau-pulau terluar seperti Kepulauan Mentawai bisa 5 menit sudah sampai. Maka dari itu masyarakat diajak untuk evakuasi mandiri,” ujar Sadly.
Sadly menambahkan, sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan dan seberapa besar gempa bumi akan terjadi. Namun demikian, ia mengatakan bahwa BMKG terus melakukan riset agar dapat memprediksi gempa bumi.
Mitigasi Jangka Panjang
Peneliti Geologi Sedimen dan Tektonik LIPI Muhammad Maruf Mukti mengatakan, mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami berbeda. Menurutnya, tsunami akibat gempa bumi dapat diprediksi sehingga risikonya dapat dikurangi, tetapi untuk mengurangi risiko kerugian akibat gempa bumi yang harus dilakukan adalah mitigasi jangka panjang.
“Ketika kita sudah mengetahui suatu daerah mempunyai risiko terkena gempa sampai magnitude tertentu, maka bangunan yang ada harus bisa mengantisipasi guncangan gempa yang akan terjadi. Selama ini kan yang menjadi penyebab korban jiwa adalah struktur bangunan yang rusak akibat guncangan gempa,” ujar peneliti yang akrab disapa Ayub ini kepada Greeners.
BACA JUGA: Para Ahli: Aktivitas Flores Back Arc Thrust Penyebab Gempa Lombok
Selain itu, perlu juga untuk mengkaji keamanan rumah-rumah yang masih berdiri tegak setelah gempa bumi terjadi. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah adanya korban akibat runtuhnya bangunan.
“Saran saya adalah melakukan kajian dan pelabelan gedung atau rumah tersebut oleh pihak pemerintah maupun ahli atau konsultan. Karena banyak sekali bangunan yang perlu dikaji, maka kerjasama dan bahu-membahu antar pakar, perguruan tinggi, relawan, pemerintah daerah dan masyarakat menjadi penting,” ujar executive secretary International Center for Interdisciplinary and Advanced Research LIPI, Irina Rafliana.
Perlunya kajian terhadap bangunan ini juga terkait upaya mitigasi. Iriana mengatakan, masyarakat yang rumahnya rusak setelah gempa bumi terjadi umumnya tidak tinggal di rumah melainkan di tenda dan tempat pengungsian. Jika terjadi gempa berikutnya, mereka bisa saja merasa cemas takut tertimpa bangunan karena trauma.
“Oleh sebab itu materi pendidikan dan dialog antara pakar dan masyarakat perlu lebih banyak karena gap atau kesenjangan pengetahuan menyebabkan kecemasan dan hoaks,” kata Irina.
Penulis: Dewi Purningsih