Jakarta ( Greeners) – Geliat pertumbuhan Ibukota menuntut masyarakatnya untuk semakin kreatif dalam merespon perkembangan zaman. Industri kreatif pun seperti dipaksa agar bisa tumbuh mandiri ditengah menggeliatnya persaingan usaha ibukota.
Masih teringat jelas dalam ingatan masyarakat bagaimana pertumbuhan industri clothing lokal atau fashion secara tiba-tiba menggebrak anak muda lokal yang 100 persen kreasinya asli hasil dari kreatifitas, kerja keras, dan inovasi anak muda Indonesia.
Namun sayangnya, industri lokal tersebut hanya bisa kita jumpai di tempat-tempat tertentu seperti di mall atau pusat perbelanjaan modern atau di toko-toko yang memang ekskkusif menjual produk tersebut.
Menjawab itu semua, sebuah pasar tradisional di bilangan Jakarta Selatan, Pasar Santa namanya, membuktikan bahwa industri kreatif lokal anak muda Indonesia juga bisa masuk melalui ranah pasar tradisional. Pasar Santa seperti ingin membuktikan bahwa sudah saatnya anak-anak muda Indonesia kembali menjejakan kakinya ke pasar tradisional.
“Santa Modern Market ini pasar kreatif anak muda yang mencoba menjadi tempat nongkrong sekaligus belanja alternatif anak-anak muda. Mungkin karena kami ngeliatnya mall itu sudah terlalu ‘mainstream’ ya,” ujar Okky Octoriawan, pemuda yang membantu menjaga kios “Vintage Shop” milik vokalis band The Brandals, Eka Annash, Jakarta, Jumat (12/12).
Bahkan, Oka, pemilik Mie Chino yang juga membuka kiosnya di Pasar Santa menjelaskan bahwa saat ini sudah dibentuk sebuah asosiasi “Anak Pasar” yang nantinya akan menampung dan menaungi para pengelola pasar kreatif yang kebanyakan baru belajar memulai usahanya.
“Rata-rata di sini kan baru semua ya, jadi kita menampung aspirasi mereka untuk promosi ataupun hal hal lainnya,” terang Oka.
Selain Okky dan Oka, Greeners juga berkesempatan menjumpai Ibu Warsih, pemilik Warung Ibu Pia yang telah berjualan di Pasar Santa selama 66 tahun. Kepada Greeners, Ibu dua anak ini menuturkan bahwa pasar yang dahulunya becek dan kotor ini sempat vakum atau mati suri selama kurang lebih tujuh tahun sejak pertamakali diremajakan pada tahun 2007. Selama tujuh tahun tersebut, hanya ia dan beberapa penjaga kemanan saja yang masih bertahan dalam kondisi vakum tersebut.
Setelah itu, ia melanjutkan, ada pembicaraan antara kepala pengelola pasar bersama dengan penjaga kemanan dan Hendri Kurniawan serta Ve Handojo, pemilik A Bunch of Caffeine Dealers (ABCD) Coffee berencana menyulap kawasan itu menjadi tempat ‘hangout’ yang unik. Akhirnya jadilah Pasar Santa menjadi ‘Santa Modern Market’ seperti saat ini.
“Soal pendapat alhamdulillah ada peningkatan, kalo dulu biasanya yang beli roko cuma ngeteng, sekarang bisa abis hampir 20 bungkus. Makanan saya juga cepet abisnya, paling gak bisa untuk belanja lagi,” aku Warsih.
Senada dengan Warsih, Anto yang membuka lapak sayur mayur di lantai dasar Pasar Santa juga mengaku mengalami peningkatan pendapatan, meskipun tidak terlalu signifikan. Karena banyak pedagang makanan seperti siomay atau mie di lantai satu membeli bahan sayur mayurnya pada pedagang lantai dasar.
Dari sisi pengunjung, Chintia, yang saat itu sedang mencari-cari tempat sablon untuk membuat tas jinjing dari kain merasa lebih nyaman dan senang berbelanja di Pasar Santa. Menurutnya, selain bisa berbelanja keperluan yang dia cari, pengunjung juga bisa melihat lihat berbagai macam kios kreatif yang menarik seperti toko vinyl, distro kaos, barang-barang vintage dan banyak lagi sesuai dengan yang diinginkan anak muda.
“Kalo laper atau capek juga banyak jajanan enak di sini,” pungkasnya.
Sebagai informasi, lantai yang diisi oleh 350 kios berukuran 2 x 2 meter ini telah terisi penuh dengan harga sewa yang beragam. Mulai dari 3 juta rupiah hingga 6 juta rupiah perkio pertahunnya.
(G09)