Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Pencegahan dan ketahanan terhadap bencana harus menjadi salah satu poin yang sangat penting untuk diutamakan. Semua pihak harus memberi perhatian khusus agar dampak dari bencana tidak meluas, termasuk peran warga yang esensial dalam penanganan bencana.
Jakarta (Greeners) – Direktur Sistem Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Udrekh, mengatakan masyarakat memegang peranan penting dalam penanggulangan bencana.
Menurutnya, kesuksesan penanggulangan bencana terlihat dari partisipasi masyarakat. Peran pemerintah, sambungnya, lebih sedikit dan hanya bersifat mendampingi masyarakat.
“Kita berharap upaya turun menurun dari BNPB ke provinsi, kabupaten, dan masyarakat. Makin lama kita akan semakin bersifat mendampingi. Segala sesuatunya bisa berjalan dengan baik sebab masyarakat sudah mulai tangguh dengan sistem yang berjalan dengan baik,” ujar Udrekh, dalam Diskusi Virtual: Partisipasi Masyarakat Dalam Mitigasi di Kawasan Potensi Bencana, Sabtu, (27/2/2021).
Mentawai Contoh Baik Penanggulangan Bencana
Udrekh menyebut Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, sebagai salah satu contoh daerah yang siap dalam menghadapi bencana. Dia mengingat, pasca tsunami Mentawai (2010), masyarakat mulai berbenah. Kesigapan warga pun tampak pada 2016, saat terjadi gempa dengan potensi tsunami. Saat itu, lanjut Udrekh, masyarakat Mentawai secara sadar menuju bukit dan bertahan selama tiga hari.
Dia pun mengapresiasi repons masyarakat Mentawai yang tidak berhenti saat terjadi bencana. Sekitar 12 orang warga asli Mentawai menjadi fasilitator andal. Dengan mengantongi pemahaman budaya Mentawai, sambungnya, para fasilitator andal mengajari masyarakat lain terkait ketahanan bencana.
“Penanggulangan bencana di Mentawai itu sudah kesadaran sendiri. Jadi, proses pematangannya dapat,” jelasnya.
Udrekh menjelaskan pemerintah tengah membangun Sistem Nasional Penanggulangan Bencana. Sistem tersebut merangkum penanggulangan bencana mulai dari perspektif kebijakan, peraturan, perencanaan, penganggaran, kelembagaan, sumber daya, dan pelaksanaan.
Dia menambahkan literasi bencana bisa mendukung sistem tersebut. Literasi bencana terhadap masyarakat akan menambah peran pada proses pra bencana. Dengan begitu, masyarakat akan lebih siap, sehingga proses pencegahan akan semakin kuat.
“Kekuatan (penanggulangan bencana) itu perspektif sekarang adalah people centre atau berpusat ke masyarakat sendiri,” tuturnya.
Baca juga: KLHK Dorong Kelompok Tani untuk Maksimalkan Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu
Masyarakat yang Pernah Terdampak Bencana Lebih Partisipatif
Masih dalam acara yang sama, Divisi Advokasi dan Kebijakan, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Jawa Barat, Dadang Sudardja, menyebut partisipasi masyarakat dalam mitigasi bencana sangat beragam.
Dia menilai masyarakat di daerah yang pernah terdampak bencana lebih partisipatif. Penilaian tersebut merupakan hasil dari program pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat di tiga kabupaten Jawa Barat.
Dia mencontohkan warga di Kabupaten Tasikmalaya. Warga yang tinggal di wilayah selatan Jawa Barat tersebut, lanjut Dadang, sangat aktif mengikuti program pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.
Selain itu, Dadang menilai warga di wilayah tersebut juga telah memiliki inisiatif untuk mengurangi risiko bencana secara mandiri. Meskipun demikian, lanjutnya, tidak dapat dinafikan kurangnya infrastruktur dalam penanganan bencana masih menjadi tantangan dalam upaya ini.
“Partisipasi tinggi dari mulai perencanaan, pelaksanaan, monitoring. Mayoritas mereka cukup tahu dan paham sebab beberapa kali diintervensi juga. Mereka menuntut perlunya daya dukung dan infrastruktur,” terang Dadang.
Di sisi lain, Dadang mendapati bahwa pada daerah yang belum terjadi bencana –termasuk daerah perkotaan– tingkat partisipasi masyarakatnya sedang dan cenderung rendah.
Salah satunya, lanjutnya, masyarakat di kawasan utara Bandung yang terancam dengan adanya sesar Lembang. Lebih jauh, Dadang mereken warga setempat bersikap ‘sensitif’ dalam menerima informasi terkait risiko bencana.
“Kalau kita salah menyampaikan akan diusir. Hasil dari ilmuan dan peneliti itu kadang tanpa memperhatikan aspek psikologi masyarakat. Menyiasatinya, sebagai fasilitator menjadikan tokoh-tokoh kunci di masyarakat sehingga mampu mendorong masyarakat lebih terlibat dalam praktik-praktik selanjutnya,” pungkasnya.
Penulis: Muhamad Ma’rup