Jakarta (Greeners) – Proyek strategis nasional lumbung pangan atau food estate menyumbang potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sebab, proyek tersebut dinilai menambah hotspot penyebab bencana tersebut. Menurut Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, pembukaan lahan gambut dari hutan menjadi lahan memungkinkan terjadinya karhutla.
“Tiga upaya restorasi lahan gambut seharusnya sudah dilakukan sejak 20 tahun yang lalu. Sayangnya, hingga kini pemerintah masih abai dengan restorasi lahan gambut yang serius dan hanya pernyataan secara seremonial saja. Untuk itulah, karhutla masih terus terjadi,” tutur Iola dalam keterangan tertulis.
Abas mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir pergerakan investasi pada industri ekstraktif dan monokultur skala besar terus bergeser. Pergeseran tersebut terjadi dari Indonesia bagian barat ke arah Indonesia bagian timur, termasuk Papua.
“Hal ini menimbulkan konsekuensi pada peningkatan risiko bencana ekologi seperti karhutla maupun banjir. Apabila dilihat secara proporsi, Provinsi Papua Selatan menjadi provinsi dengan kesatuan hidrologi gambut (KHG) yang memiliki kerentanan terbanyak. Provinsi Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan kerentanan terluas,” ucap Iola.
BACA JUGA: Siaga Hadapi El Nino
Kelalaian Manusia Berkontribusi dalam Karhutla
Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung mengungkapkan kelalaian manusia berkontribusi besar dalam karhutla selama dua dekade terakhir (2001-2019). Sebagian besar titik panas berada di lahan gambut. Bahkan, banyak pihak memprediksi karhutla tahun ini akan lebih parah dibandingkan dua tahun sebelumnya (2021-2022).
“Selain itu, fenomena El Nino juga memperparah kondisi kebakaran hutan dan lahan,” ujar Timer dalam keterangan tertulis.
Menurut Timer, 78 tahun kemerdekaan Indonesia telah menjadi pengingat target menuju Indonesia Emas di tahun 2045. Namun, dalam pidato kenegaraannya pada Rabu (16/8/2023), Presiden Joko Widodo tak sekali pun mengangkat urgensi penjagaan dan restorasi hutan dan lahan.
BMKG Prediksi 2024 Jadi Tahun Terpanas di Dunia
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menyerukan dampak dari iklim ekstrem El Nino di Indonesia dapat mengurangi curah hujan dan memicu kekeringan. Bahkan, BMKG memprediksi tahun 2024 akan menjadi tahun terpanas di dunia.
Berdasarkan data Auriga, karhutla sebagian besar terjadi di wilayah Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua. Hal ini menyebabkan kebakaran semakin sulit dipadamkan. Api menjalar di perut gambut dan memicu bencana asap.
Menurut Timer, titik panas atau hotspot sepanjang 20 tahun terakhir, cenderung berulang di lokasi yang sama secara administratif. Titik panas tersebut cenderung meninggi pada bulan yang sama di tujuh provinsi.
“Ditelisik lebih dalam, titik api berulang tersebut ternyata tidak hanya di dalam konsesi monokultur, tapi juga di kawasan konservasi. Data hotspot juga menunjukkan bahwa muncul fenomena episentrum api baru di provinsi (masih) kaya hutan, seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara,” kata Timer.
BACA JUGA: BMKG: Waspada Risiko Bencana Kekeringan Meteorologis
Titik panas tersebut cenderung meninggi pada bulan yang sama di kabupaten yang sama di 7 provinsi. Di antaranya Riau (proporsi hotspot 19%), Kalimantan Tengah (19%), Kalimantan Barat (13%), Sumatera Selatan (12%), Jambi (5%), Papua (5%), dan Kalimantan Selatan (4%).
Mitigasi Karhutla dalam Kebijakan Pemerintah
Komitmen pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi karhutla tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.
“Namun, dalam upaya pencegahan kebakaran hutan, kesenjangan kerap terjadi terutama dalam ranah kebijakan, anggaran, kelembagaan, dan implementasi kegiatan,” ungkap Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad.
Dalam upaya penanggulangan karhutla, menurut Nadia, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah wajib bersinergi sesuai dengan koridornya masing-masing. Berdasarkan catatan Yayasan Madani Berkelanjutan, luas Area Indikatif Terbakar meningkat berkali lipat di wilayah izin hutan tanaman, perkebunan sawit, konsesi minerba, serta konsesi migas dalam dua bulan terakhir.
“Hal ini perlu menjadi perhatian KLHK, Kementan, Kementerian ESDM, Kemendagri, dan para kepala daerah,” kata Nadia.
Langkah mitigasi lainnya, menurut Nadia, adalah melakukan mitigasi bencana yang lebih holistik berbasis konservasi ekosistem dan tata ruang. Selain itu, perlu kolaborasi lintas sektor dalam upaya melakukan mitigasi tersebut.
“Dengan demikian, kolaborasi dapat melahirkan penanganan kebencanaan yang berkelanjutan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat. Penanganan yang efektif juga perlu menyesuaikan dengan kearifan lokal dan fungsi ekologis daerah,” ungkapnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia