Bogor (Greeners) – Untuk memahami fenomena iklim diperlukan berbagai data yang dikumpulkan tidak hanya pada saat ini namun juga arsip dari masa lampau. Salah satu yang peneliti Indonesia yang melakukan penelitian terkait fenomena iklim adalah peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Sri Yudawati Cahyarini. Ia menerapkan metode paleoclimate menggunakan media koral. Sayang, metode ini belum mendapatkan perhatian dari pemerintah karena isu iklim masih dianggap isu kelas bawah.
“Studi paleoclimate bertujuan membuat modal prediksi iklim lebih akurat, semakin bagus data akan semakin bagus langkah mitigasinya. Untuk memahami dan memprediksi fenomena iklim membutuhkan data yang akurat dengan tidak menggunakan pengukuran alat-alat saja, tapi salah satunya dengan ilmu paleoclimate ini,” ujar Yuda saat mengisi diskusi publik Hari Kartini di Bogor, Kamis (18/04/2019).
BACA JUGA: Perubahan Iklim Pengaruhi Ketersediaan Pakan dan Populasi Burung
Paleoclimate atau paleoklimatologi merupakan ilmu mengenai pemahaman fenomena iklim melalui pengetahuan kondisi iklim di masa lampau lewat data parameter iklim dalam waktu yang panjang dan tidak terjangkau oleh data pengukuran.
Yuda mengatakan jika ingin mendapatkan data yang sempurna terkait prediksi iklim dengan ilmu paleoclimate maka harus didukung dan dikerjakan bersama-sama dengan para ahli, seperti ahli klimatologi dan meteorologi untuk mendapatkan data masa kini, serta ahli pemodelan yang bisa memverifikasi hasil data lebih akurat.
“Untuk memprediksi iklim harus melihat variabel suhu panas, suhu dingin, curah hujan rendah, dan curah hujan tinggi ketika seratus hingga satu juta tahun yang lalu, apakah kondisinya sama atau tidak, pastinya kan tidak. Kalau saya untuk melihat itu menggunakan media karang, namun teman-teman peneliti yang lain ada yang menggunakan sedimen laut dan danau,” ujarnya.
Dari media karang ini, Yuda mengatakan bahwa dirinya bisa merekonstruksi variasi temperatur air laut sampai resolusi bulanan dengan rincian rekonstruksi curah hujan. Dari data tersebut bisa dilihat pengaruh fenomena iklim El Nino – Osilasi Selatan (ENSO) terhadap curah hujan di masa lampau.
“Saya mendata karang yang berumur 6.000 tahun yang lalu dan hasilnya variabelitas temperaturnya lebih rendah dibandingkan sekarang. Artinya, ada kenaikan variabelitas dari panas bumi yang menandakan perubahan iklim itu ada,” katanya.
Yuda mengatakan bahwa ilmu paleoclimate belum terlalu dihargai dan digunakan di Indonesia dan baru digunakan sebagai kolaborasi individu. “Kalau sekarang kerjasamanya dengan BMKG, itu juga kolaborasi individu. Di Indonesia sendiri paleoclimate belum “eksotik” dan isu perubahan iklim belum terangkat,” katanya.
BACA JUGA: LIPI Dorong Kebijakan Inklusif Perubahan Iklim untuk Masyarakat Pesisir
Kepala Bidang Perubahan Iklim BMKG Kadarsah juga mengakui kalau penerapan paleoclimate masih sedikit dan biayanya mahal. Menurut Kadarsah, BMKG juga menggunakan metode ini dengan media es stalagmit dan stalaktit di Puncak Jaya, Papua karena mampu merekam kondisi iklim di masa lampau.
“Es mampu merekam CO2 dan polutan namun mahal karena banyak biaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya ke Jaya Wijaya, Papua lalu alat ukur esnya,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih