Jakarta (Greeners) – Pakar Keanekaragaman Hayati Endang Sukara menyatakan, pentingnya genetically modified organism (GMO) dan produk rekayasa genetika (PRG) pada bahan pangan. Hal ini untuk menciptakan ketahanan pangan dan mencegah krisis pangan dampak dari perubahan iklim.
Menurutnya, pemerintah Indonesia hingga saat ini belum juga memiliki keberanian dan masih ragu-ragu dalam menggunakan pangan dari PRG.
“Padahal banyak kegiatan-kegiatan riset untuk membuat varietas baru, misalnya padi yang tahan terhadap kekeringan. Hingga ancaman perubahan iklim lain yang itu semua diproses secara genetik,” katanya kepada Greeners, Selasa (14/6).
Lebih jauh ia menyebut, dibanding negara-negara lain di dunia, Indonesia terbilang masih tertinggal dalam pemanfaatan rekayasa genetika, khususnya untuk tanaman bahan pangan ini.
Sementara tren dunia telah berkiblat pada produk-produk bahan pangan jenis ini. Seperti misalnya pengembangan padi yang tahan terhadap kekeringan hingga tanaman pangan yang tahan terhadap hama dan banjir.
“Sebetulnya bahkan pangan dari rekayasa genetik ini justru terbukti lebih aman dibanding tanaman pangan yang masih sering pakai pestisida. Indonesia hingga saat ini masih belum menganggap ini langkah penting,” ungkapnya.
Padahal, sejatinya sambung Endang Indonesia masih banyak melakukan impor pada produk-produk pangan hasil rekayasa genetika ini. Misalnya kedelai untuk pembuatan tempe yang masyarakat makan sehari-hari.
Payung Hukum Rekayasa Genetika Pangan Belum Tersedia
Menurutnya, teknologi rekayasa pangan dapat memberikan manfaat yang besar terutama untuk pemanfaatan produk pertanian. “Indonesia sendiri belum berhasil mengembangkan tanaman transgenik secara massal. Utamanya di wilayah Asia kita sangat tertinggal dalam mengelola pengembangan pangan rekayasa genetika. Padahal negara-negara tetangga lainnya sudah menjadi tren,” tuturnya.
Keamanan pangan dari produk rekayasa genetika sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2005. Akan tetapi, untuk payung hukum komersialisasi dari produk ini belum tersedia. Akibatnya, para petani belum dapat menanam secara bioteknologi ini dan masih bergantung pada impor.
Endang juga mengingatkan agar pemanfaatan produk rekayasa genetika, khususnya pada sektor pertanian dan pangan harus hati-hati dan cermat. Hal ini agar tidak menimbulkan gangguan pada keanekaragaman hayati, lingkungan serta kesehatan manusia.
“Oleh karena itu rekayasa genetika pangan ini membutuhkan sertifikasi pemerintah untuk akhirnya bisa diproduksi secara masif,” ujar dia.
Bentuk Adaptasi dan Mitigasi Pertanian Terhadap Perubahan Iklim
Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Puji Lestari mengungkapkan, program pemuliaan bibit-bibit unggul pada tanaman, ternak dan teknologi pendukungnya bertujuan untuk mencegah food loss dan food waste.
Hal ini sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi pertanian terhadap perubahan iklim. Lalu pemanfaatan lahan sub optimal (lahan kering, lahan masam, lahan salin), serta pengelolaan sumber daya genetik (SDG) tanaman dan ternak secara berkelanjutan.
“Rencana ke depan kita memang arahnya membuat varietas baru untuk mengatasi krisis pangan. Misalnya pisang atau mangga dibuat varietas baru yang lebih lama self life-nya melalui genome editing atau pemuliaan lain dengan mutasi,” katanya.
Permasalahannya, saat ini di BRIN belum ada riset penelitian terkait hal itu, mengingat organisasi riset (OR) ini baru terbentuk. “Karena belum ada DIPA tapi kita tetap mengusahakan dengan skema lain dari eksternal,” imbuhnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin