Jakarta (Greeners) – Topik potensi gempa megathrust dan tsunami di Pantai Selatan Jawa sedang menjadi sorotan publik. Perhatian ini berawal dari tulisan Ron Harris dan Jonathan Major dalam “Waves of Destruction in the East Indies: the Wichmann Catalogue of Earthquakes and Tsunami in the Indonesian Region from 1538 to 1877”.
Dalam penelitiannya, Harris dan Major mengaji temuan Arthur Wichmann. Wichmann mencatat 61 gempa regional dan 35 tsunami berlangsung di antara 1538 hingga 1877 di kawasan Hindia Belanda. Wichmann menemukan mayoritas kejadian ini menyebabkan kerusakan wilayah yang luas serta menciptakan kluster gempa bumi sementara. Selain itu, Wichmann mengklaim beberapa tsunami mencapai ketinggian hingga 15meter dan menyapu desa pesisir.
Dari penelitian ini, poin yang menjadi pembicaraan masyarakat adalah catatan Harris dan Major yang berisi dokumentasi endapan tsunami di Pangandaran. Harris dan Major menulis endapan tsunami ini bisa jadi akibat gempa bumi megathrust sepanjang Palung Jawa.
Baca juga: KLHK Pangkas Izin Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Temuan Harris dan Major memantik penelitian pakar mulitdisiplin Institut Teknologi Bandung (ITB). Riset yang dipimpin oleh Prof. Sri Widiyantoro ini berjudul Implications for Megathrust Earthquakes and Tsunamis from Seismic Gaps South of Java Indonesia. Pada penelitian yang diterbitkan Nature Scientific Report (17/9/2020), para peneliti membuat model tsunami dengan beberapa skenario. Skenario terburuk menggambarkan dua segmen megathrust yang terletak di antara Jawa pecah. Dari skenario terburuk ini, ketinggan tsunami mencapai kurang-lebih 20meter pada pesisir barat Jawa dan sekitar 12meter pada pesisir timur Jawa.
“Hal ini yang sebenarnya menjadi pemberitaan belakangan ini. Sebenarnya riset yang dilakukan sangat multidisiplin namun ujungnya adalah suatu skenario jika megathrust itu terjadi. Tim kami banyak melakukan skenario lain, puluhan mungkin seratus skenario. Tapi sekali lagi tentu untuk keperluan mitigasi ditampilkan worst case scenario seperti ini,” jelas Prof. Sri Widiyantoro.
LIPI: Penelitian ITB Harus Ditindaklanjuti dengan Detail
Menanggapi ramainya pembicaraan mengenai zona megathrust, Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Nugroho Dwi Hananto, mengatakan potensi gempa dan tsunami di Samudera Hindia Selatan Jawa telah beberapa kali disampaikan dan dipublikasikan oleh peneliti internasional. Peneliti, lanjut Dr. Nugroho, menggunakan data rekaman sejarah, seismologi dan geodetik.
Disamping itu, Dr. Nugroho mengingatkan, sejarah gempa dan tsunami di Pangandaran tahun 2006 dan di Jawa Timur pada tahun 1994. Kedua gempa penyebab tsunami ini bukanlah gempa besar dengan magnitudo kurang dari 8.
Baca juga: LSM: Co-firing PLTU Solusi Semu Emisi Gas Rumah Kaca
“Berdasarkan data seismologi, GPS dan pemodelan tsunami dengan menggunakan rekaman data yang komprehensif, Tim ITB menyimpulkan apabila seluruh segmen dari megathrust di selatan Jawa mengalami gempa, maka berpotensi menghasilkan tsunami setinggi 20meter di Jawa Barat,” ujar Dr. Nugroho saat dihubungi Greeners, Sabtu (3/10).
Dr. Nugroho mengatakan, hasil penelitian ini perlu ditindaklanjuti dengan riset yang lebih detail agar lebih akurat. Riset diperlukan untuk mengungkap struktur zona megathrust, segmentasi, keheterogenan struktur bawah permukaan, asperiti dan struktur morfologi dasar laut (batimetri).
Riset Struktur Zona Gempa Megathrust Diperlukan sebagai Landasan Strategi Mitigasi
Menurut Dr. Nugroho, riset Tim ITB berguna sebagai landasan ilmiah dalam menyusun strategi mitigasi dan pendidikan masyarakat di daerah pesisir selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Penelitian dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI mengungkap tsunami masa lampau terjadi di lokasi tersebut berdasarkan data endapan tsunami yang dijumpai di daerah pesisir selatan Jawa.
“Penelitian geosains kelautan dengan melibatkan metoda seismik refleksi, pengamatan detil mikroseismisitas dengan seismometer dasar laut, seismik refraksi, dan pengukuran heatflow telah dilakukan LIPI secara sistematis bekerjasama dengan mitra asing dan nasional. Hasilnya, antara lain struktur megathrust penyebab gempa besar Aceh 2004; patahan kerah samudera di Samudera Hindia penyebab gempa besar tahun 2012; struktur penyebab tsunami Mentawai tahun 2010; dan pengaruh gunung bawah laut yang tersubduksi terhadap aktivitas gempa di Mentawai,” ujarnya.
Dr. Nugroho melanjutkan, metode riset samudera yang sama rencananya dilakukan di zona subduksi dan palung Indonesia menggunakan Armada Kapal Riset Nasional. Riset ini untuk mengungkap detail dinamika zona subduksi di Indonesia dan rekomendasi mitigasi yang dapat dilakukan.
Menrsitek: Belum Ada Metode untuk Prediksi Gempa
Hal yang sama juga disampaikan oleh Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro. Menteri Bambang menyatakan riset penelitian terkait risiko tsunami penting untuk mengetahui skenario terburuk dan langkah antisipasi, yakni peningkatan kesiapsiagaan dan usaha mitigasi.
“Dari segi keilmuan, sampai hari ini belum ada metode atau teori yang bisa memprediksi apakah suatu gempa akan terjadi. Kapan, di mana, dan berapa kedalaman serta besarnya. Sehingga riset yang dilakukan Prof. Sri Widiyantoro bersama tim adalah agar kita lebih waspada dan antisipatif terhadap kemungkinan bencana tersebut,” ujar Bambang pada agenda Keterangan Publik Risiko Tsunami di Pantai Selatan Pulau Jawa melalui telekonferensi, Rabu, (30/9).
Bambang menambahkan, kajian tersebut tidak bertujuan menimbulkan kepanikan di masyarakat. Alih-alih kepanikan, riset ini ditujukan untuk mengendepankan upaya mitigasi terhadap potensi risiko bencana di Indonesia.
Bambang mengklaim pihaknya terus berupaya mendukung manajemen mitigasi dengan membangun kapasitas sains dan teknologi kebencanaan. Upaya ini dia lakukan melalui penyiapan sumber daya manusia, penyediaan sarana dan prasarana riset, serta penyelenggaraan riset bidang kebencanaan demi menghasilkan dan mengelola pengetahuan riset kebencanaan.
“Pemerintah sudah membuat sistem yang disebut sebagai Indonesia Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) yang dikembangkan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan beberapa institusi lainnya ada yang dalam bentuk buoy system. Buoy system mampu mendeteksi potensi tsunami dalam hitungan detik sehingga informasi bisa langsung didapatkan sebagai upaya mitigasi bencana sedini mungkin. Kedua, sistem cable yang salah satunya sudah disiapkan di selatan Pulau Jawa khususnya di Selat Sunda,” tambahnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi