Jakarta (Greeners) – Pakar menilai negara memerlukan metodologi dan pendekatan baru dalam menangani masalah restorasi ekologi alam, termasuk gambut. Dalam webinar ketiga Program Desa Peduli Gambut, Kamis (8/10/2020), para pakar menyampaikan penilaian tentang metodologi yang tidak berubah dan masih berorientasi eksploitasi berkelanjutan.
“Penting untuk keluar dari perspektif restorasi untuk kepentingan eksploitasi berkelanjutan yang sering dilihat dalam kacamata negara. Tapi (mengganti perspektif) sebagai pengembalian dari alam,” ujar Dosen Departemen Antropologi Universitas Indonesia, Dave Lumenta.
Dave menjelaskan upaya metodologi restorasi alam yang dilakukan negara terjebak pada tahapan strategis. Misalnya, negara masih menggunakan interpretasi restorasi alam atas penerjemahan hukum. Restorasi alam terjebak dalam praktik melobi pihak desa, kabupaten, dan provinsi. Menurutnya, hal tersebut menjadi persoalan.
Dave menilai pihak institusi dan kepala daerah menilai ekosistem atau wilayah pada level kebijakan lebih menekankan pada segi tata ruang. Restorasi alam, lanjutnya, dipandang sesuai relasinya sebagai aset, akses, pemanfaatan, dan kapitalisasi bagi wilayah bersangkutan.
Dave menambahkan, proses tanggung jawab negara atas alam kerap terhambat dengan adanya penyelesaian yang parsial. Baik secara kelembagaan maupun batas teritori wilayah. Menurutnya, hal tersebut masih belum cukup, sebab kondisi alam tidak terwadahi sepenuhnya.
“Ilmu pengetahuan berkembang, manusia menyesuaikan. Tapi metodologi negara tidak beranjak. Tuntutan bumi mengharuskan zona iklim dan ekosistem. Negara terus berkutat dengan objek analisis yang terbatas adiministrasi,” imbuhnya.
Baca juga: Pakar Desak Pemerintah Gunakan Metodologi Baru dalam Restorasi Alam
Pakar Berharap Akan Munculnya Gerakan Akar Rumput
Di sisi lain, lanjut Dave, masyarakat melihat wilayah selalu dalam konteks ekologi dan ekosistem. Dave lalu membandingkan praktik di Tanah Air dengan negara lain. Dave menjelaskan banyak gerakan masyarakat mancanegara yang datang dari bawah. Masyarakat akar rumput menginisiasi gerakan untuk menyederhanakan dan memasukkan hak asasi alam kembali ke sistem legal. “Misalnya di Bolivia melalui kasus konflik air,” tutur Dave.
Ia berharap hal serupa juga bisa dilakukan di Indonesia. Masyarakat, lanjutnya, terutama dapat berperan pada aspek paralegal. Masyarakat akar rumput dapat memberi pendampingan hukum bagi warga yang terlibat konflik lingkungan di level lokal atau desa.
“Paralegal mungkin ada kreativitas sosial untuk mewujudkan ini, baik dari level lokal atau desa. Untuk mendorong perubahan ini ke level nasional,” tambahnya.
Baca juga: Pakar: UU Cipta Kerja Lemahkan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup
Warga Berisiko Terjerat Hukum Penegakan Karhutla
Pada kesempatan yang sama, Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan, Badan Restorasi Gambut (BRG), Myrna A. Safitri, menjelaskan masih banyak warga yang tidak mendapat pendampingan hukum ketika berkonflik. Masyarakat, tambahnya, masih berisiko terjerat proses hukum karena kebijakan penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan.
Myrna menyebut, terdapat 1.200 desa di mana konflik kerap terjadi. Desa-desa ini merupakan area lahan gambut yang tumpang tindih dengan area konsesi, konservasi, dan area yang jauh dari wilayah kelola masyarakat.
“Area tumpang tindih di beberapa kasus menimbulkan konflik. Area konflik menjadi fokus kebakaran rawan terjadi,” ungkapnya.
Guna mengatasi konflik, Myrna mengaku pihaknya berupaya membentuk paralegal masyarakat gambut guna meningkatkan pendidikan dan penyadaran hukum kepada masyarakat di desa peduli gambut. Sampai pada 2019, Myrna menghitung 759 paralegal masyarakat gambut tersebar di 7 provinsi. Namun, dia pun mengakui beberapa wilayah tidak terjangkau peran paralegal.
Menurutnya, paralegal masyarakat juga memberikan pemahaman dan wawasan resolusi konflik sumber daya alam terkait restorasi dan pemanfaatan gambut. Paralegal masyarakat pun mengembangkan partisipasi dan kapasitas masyarakat gambut dalam pemberdayaan dan penyelesaian masalah hukum.
“Perlu kehadiran dari mereka yang memberi layanan pertama. Semacam emergency service ketika masyarakat menghadapi masalah ini. Kita tidak bisa mendatangkan dari luar sehingga keberadaan wakil masyarakat yang bisa menjalankan peran paralegal itu menjadi satu jawaban,” jelas Myrna.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi