Jakarta (Greeners) – Indonesia kebanjiran impor pakaian bekas. Omzet penjualan barang ini pun tak main-main, nilainya mencapai miliaran rupiah. Namun, keberadaannya dipandang “membunuh” produk lokal.
Presiden Joko Widodo pun sampai angkat suara. Ia menegaskan pakaian bekas impor mengganggu produk lokal.
Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan UKM, Hanung Harimba Rachman mengatakan, pakaian bekas menimbulkan masalah lingkungan yang serius.
Badan Pusat Statistik tahun 2019 menyebut, volume baju bekas impor mencapai 392 ton. “Dengan jumlah impor yang begitu besar, banyak baju bekas impor itu berakhir di TPA. Indonesia dijadikan sebagai pembuangan sampah pakaian bekas,” katanya kepada Greeners, Sabtu (18/3).
Bahkan lanjutnya, menambah besar potensi sampah tekstil. Adapun saat ini terdapat 2.633 ton sampah tekstil per tahun di Indonesia.
Lebih jauh ia menyebut tumbuh suburnya industri thrifting karena masyarakat Indonesia masih price sensitive dan menginginkan produk branded meski bekas.
“Pakaian yang harusnya berharga ratusan ribu dijual dengan rentang harga Rp 50.000-an. Ini jelas menjadi pukulan telak bagi industri tekstil dalam negeri karena tak bisa bersaing dari segi harga,” tuturnya.
Barang bekas impor, termasuk di dalamnya pakaian tidak membayar bea dan cukai sehingga membuat negara merugi.
Jeritan Pedagang Saat Ada Larangan
Pandemi Covid-19 mengubah gaya hidup manusia, termasuk dalam urusan fesyen. Selain pakaian bekas merupakan solusi untuk menerapkan gaya hidup hemat, juga berpotensi memperpanjang usia pakaian. Sehingga, dinilai mampu menjadi solusi meminimalisir limbah.
Di tengah lesunya kondisi perekonomian imbas pandemi, terdapat salah satu sektor yang tetap perkasa yakni perdagangan pakaian bekas impor. Laris manis bisnis ini dinikmati juga oleh salah satu lapak penjual pakaian bekas impor di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Usman.
Lapaknya terbuka di area pinggir jalan memudahkan masyarakat melihat dan memilih langsung pakaian bekas yang mereka inginkan. Lelaki berusia 45 tahun ini menyatakan, keuntungan dari bisnis ini sangat menggiurkan. Omsetnya kisaran 12 juta per bulan. “Yang penting bisa buat makan, bayar kos saja sudah Alhamdulillah,” ujar lelaki asal Padang ini.
Usman berharap, pemerintah tak sekadar melarang penjualan produk-produk barang bekas, tapi memberikan solusi yang lebih konkret pada pedagang kecil.
“Takut sih saya (kalau sampai tak menerima barang baru karena sudah dilarang). Tapi bagaimana nasib saya nanti kalau hanya jualan gini tidak boleh. Kan tak mungkin menganggur,” ujar lelaki yang telah 20 tahun berdagang pakaian bekas.
Volume Impor Pakaian Bekas Naik Signifikan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan melaporkan, volume impor pakaian bekas pada tahun 2022 naik signifikan sebanyak 227,75 % daripada tahun 2021. Nilai devisanya fantastis yakni sebesar US$ 272.146 atau setara Rp 4,19 miliar.
Adapun volume impor pakaian bekas tahun 2022 yakni 26,22 ton, sedangkan tahun 2021 hanya 8 ton. Laporan Trade Map menyebut ekspor baju bekas dari negara eksportir sepanjang tahun 2021 ke Indonesia mencapai 27.420 ton.
Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya untuk mencari betul sumber impor pakaian bekas. Sebab, industri ini mengganggu industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.
Menurut data Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) menyebut 80 % produsen pakaian di Indonesia didominasi oleh UKM. Impor pakaian bekas selama ini memangkas sebesar 12 hingga 15 % pangsa ini.
Sementara itu, berdasarkan laporan Valuing Our Clothes: The Cost of UK Fashion WRAP terbitkan tahun 2017, peningkatan penjualan barang bekas sebesar 10 % dapat menghemat 3 % emisi karbon dan 4 % air.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin