Pontianak (Greeners)- Penyelamatan Orangutan jenis Pongo Pygmaeus Pygmaeus Minggu (26/8) sore yang dilakukan dengan cara pengasapan dan bara api serta petasan oleh sejumlah warga di wilayah Parit Wadongak, Desa Wajok Hilir Kecamatan Siantan Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat, berakhir tragis.
“Tiba-tiba angin bertiup kencang dan menimbulkan percikan api dari sumber pengasapan, lalu menyambar bagian daun kelapa yang kering, dan mengenai bagian badan orangutan. Kejadian inilah yang tertangkap lensa kamera dan disiarkan oleh beberapa stasiun TV,” jelas Parsaroan Samosir, Kepala Seksi Wilayah III Singkawang.
Parsaroan menegaskan bahwa proses evakuasi orangutan seberat 70 kilogram yang masuk ke pemukiman warga tersebut berjalan sesuai protokol dan prosedur penyelamatan satwa liar. Tim gabungan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk petugas medis dan LSM Lingkungan yang berpengalaman dalam menangani satwa liar, seperti Yayasan International Animal Rescue (IAR), WWF Indonesia, Gemawan, Perwakilan Forum Konservasi Orangutan Kalimantan Barat (FOKKAB), Yayasan Titian, dan masyarakat.
Menurut Hermayani Putra, manager Program WWF Kalbar yang ikut turun ke lokasi penemuan orangutan, menjelaskan pihaknya mendapatkan informasi tentang satwa itu pada hari Sabtu (25/8) lalu. Mereka kemudian langsung berkoordinasi ke BKSDA Kalimantan Barat serta sejumlah LSM pemerhati orangutan. “Kami mencoba berkordinasi ke BKSDA Kalbar agar memberikan penyuluhan kepada warga sekitar kenapa hewan ini harus tetap dilindungi. Proses evakuasi kita lakukan pada pagi (26/8) hari sambil menunggu peralatan evakuasi yang didatangkan dari Ketapang,” jelas Hermayani.
Dia menjelaskan munculnya orangutan di pemukiman dan perkebunan warga, kemungkinan disebabkan habitatnya yang terganggu sehingga dia keluar untuk bertahan hidup.
Sedangkan Niken Wuri Handayani, koordinator Pengendali Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, juga mengatakan pihaknya memang memfokuskan upaya evakuasi orangutan itu.
“Saat itu kami mengalami kesulitan, karena banyak warga sekitar yang tertarik mendekati lokasi. Sehingga orangutan ini menjadi stres. Walaupun sudah dibius dengan cara menembakan obat bius tiga kali. Ternyata obat bius tersebut tidak efektif melemahkannya,” ujar Niken.
Dia juga menjelaskan, bahwa pihaknya selama ini sudah terbiasa melakukan evakuasi orangutan dengan menembak obat bius.
Orangutan yang mati itu kemudian diotopsi di kantor BKSDA Kalbar pada Jumat (31/8) oleh tim dokter hewan yang terdiri dari Dwi Suprapti (WWF Indonesia), Ahmad Syifa Sidik (International Animal Rescue), Yudha Dwi Harsanto (Dinas Pertanian dan Peternakan Kubu Raya), Huibert Hendrian (Praktisi Kesehatan Hewan) dan Sony Hanyuwito (UPT Lab Keswan dan Kesmavet Kalbar). Hasil otopsi selama 7 jam menunjukkan orangutan itu mati karena kekurangan oksigen karena terlalu banyak menghirup asap saat pengasapan.
Tim medis juga menyimpulkan 5 hal, yakni, pertama, orangutan itu mengalami luka bakar 70 persen dengan derajat ringan hingga sedang. Kedua, terdapat peningkatan cairan plasma pada bagian lengan atas, dada, dan paha hingga lutut kanan.
Ketiga, tidak normalnya saluran pernafasan mulai dari faring hingga paru-paru. Keempat, saluran pencernaan penuh berisi gas dan terdapat sedikit nekrosis pada bagian colon (usus besar). Terakhir, jantung 50 persen diselimuti lemak.
Untuk hasil secara lebih detail tim medis masih harus melakukan uji sampel di laboratorium. Tim sudah mengumpulkan sedikitnya sepuluh sampel yang nantinya akan diperiksa dan dianalisis lebih lanjut. Sampel itu antara lain, hati, jantung, hati, pancreas, usus besar, dan lain-lain.
Pada konferensi pers, BKSDA Kalimantan Barat menyatakan Orangutan tersebut akan dikubur, namun mengingat satu dan lain hal, tubuh orangutan tersebut akhirnya dikremasi di daerah Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya. (G15)