Perubahan iklim sebagai masalah global bukan hanya fenomena alam atau lingkungan saja. Pembiaran terhadap perubahan iklim dapat merugikan secara ekonomi. Pasalnya ongkos untuk mengganti kerusakan akibat perubahan iklim perlu biaya yang tidak sedikit.
Jakarta (Greeners) – CEO Landscape Indonesia, Agus Sari, mengatakan terdapat dua pembiayaan menangani perubahan iklim. Pertama adalah biaya akibat kerusakan perusakan iklim. Menurutnya, biaya kerugian global dari perubahan iklim paling banyak bisa mencapai US$7,9trilun pada 2050.
Untuk pembiayaan kedua yaitu mencegah atau mengurangi penyebab pengurangan iklim. Pembiayaan jauh lebih murah dari menangani kerusakan akibat perubahan iklim. Dia mengutip data dari Global Greenhouse Gas (GhG) yang menyebut biaya pencegahan penyebab kerusakan iklim untuk tahun 2030 yaitu sebanyak US$250-350miliar.
“Dengan demikian biaya mencegah lebih murah dari biaya mengobati. Dalam banyak kasus, mitigasi perubahan iklim justru lebih menguntungkan. Bahkan, pada saat kita tidak hitung ongkosnya,” ujar Agus dalam Webinar Cerita Iklim, Minggu (24/01/2020).
Penentuan Harga Karbon Perluas Pencegahan Produksi Karbon
Agus menjelaskan terdapat tiga hal penting dalam pencegahan perubahan iklim. Ketiga hal berikut pun dia percayai dapat bermanfaat pada perekonomian, yakni:
- beralih ke energi baru terbarukan,
- reforestasi hutan, dan
- penentuan harga karbon serta perdagangan karbon.
Lebih khusus, Agus mengatakan penentuan harga karbon bisa memperluas cakupan pencegahan produksi karbon. Dalam penerapannya, harga barang yang menghasilkan energi karbon akan menjadi mahal. Dengan mahalnya harga, maka kebutuhan akan barang tersebut sedikit dan konsumen beralih ke produk yang lebih ramah lingkungan.
“Dengan demikian permintaan barang dengan intensitas karbon yang tinggi itu akan berkurang. Permintaan batu bara berkurang, minyak bumi, sementara energi baru terbarukan akan lebih meningkat,” jelasnya.
Agus melanjutkan, perdagangan karbon selain sebagai bagian dari pencegahan kerusakan iklim selain hemat, juga bisa menambah penghasilan negara. Menurutnya, teknis perdagangan karbon yaitu pendanaan dari negara dengan potensi kecil untuk menurunkan emisi karbon.
Nantinya, dana tersebut akan menjadi program di negara dengan potensi besar penurunan karbon, seperti Indonesia. Hasilnya dihitung sebagai penurunan emisi karbon oleh negara penyedia dana. Agus menilai perdagangan karbon harus adil agar dampaknya dapat terasa.
“Perdagangan karbon ini bukan berarti suatu negara lepas tanggung jawab. Tapi bentuk perdagangan jasa. Jadi harus adil dan kita harus pastikan prosesnya benar-benar adil,” hemat Agus.
Menteri LHK Ungkap Empat Bidang Adaptasi Perubahan Iklim
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan pemerintah Indonesia berkomitmen dalam menyiapkan langkah adaptasi perubahan iklim.
Ada empat bidang yang masuk dalam Nationally Determined Contributions (NDCs). Keempat bidang tersebut, yaitu
- mitigasi perubahan iklim,
- ketahanan ekonomi,
- ketahanan sosial dan kebutuhan dasar hidup, serta
- ketahanan ekosistem dan bentang alam.
“Sebagai negara agraris, peningkatan suhu global akibat perubahan iklim tentu akan mempengaruhi produktivitas pertanian yang akan berdampak pada kondisi ekonomi dan kehidupan sosial,” katanya.
Dalam hal pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim, Siti menginformasikan bahwa Indonesia telah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Badan ini berfungsi untuk mengelola dana yang berasal dari dalam negeri, internasional, hingga sektor swasta untuk pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian perubahan iklim.
“Sebagai negara berkembang dengan wilayah yang hampir seluas benua Eropa dan jumlah penduduk nomor empat di dunia, tentunya akan membutuhkan sumber daya yang besar untuk meningkatkan kapasitas guna meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. BPDLH dapat mendukung pencapaian NDC baik dari segi mitigasi maupun adaptasi,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi