Jakarta (Greeners) – Perdagangan satwa liar ilegal merupakan persoalan serius di tingkat global. Kejahatan ini menempati peringkat ketiga dengan total kerugian terbesar setelah perdagangan narkotika dan human trafficking. Angka kerugiannya pun fantastis, yakni mencapai US$ 23 miliar atau setara Rp 341 triliun.
Rektor Universitas Pakuan Didik Notosudjono menyatakan, Indonesia merupakan salah satu dari 17 negara dengan julukan megabiodiversity di dunia. Julukan ini karena potensi besar satwa liar dan tumbuhan langka.
Satwa liar berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem hingga memastikan kesatuan rantai makanan dan mencegah bencana ekologis.
Selain itu, di Indonesia satwa liar juga merupakan simbol potensi keanekaragaman hayati yang tidak negara lain miliki, seperti burung jalak bali, orangutan hingga cendrawasih.
Namun, Indonesia justru memiliki nilai perputaran uang perdagangan ilegal satwa liar mencapai 15 triliun per tahun.
“Selain sebagai negara sumber, Indonesia merupakan pasar potensial dalam perdagangan ilegal satwa liar,” katanya dalam Webinar Penanganan Perdagangan Satwa Liar: Pembelajaran dari Asia Tenggara, Kamis (27/10).
Perdagangan Ilegal Satwa Gunakan Beragam Modus
Pelaku kriminal perdagangan ilegal satwa liar ini memiliki berbagai modus. Cakupannya skala negara hingga antarbenua. Dalam tiga tahun terakhir, terdapat 187 kasus perdagangan satwa liar dilindungi. Barang buktinya sekitar 13.000 ekor satwa hidup, dan lebih dari 1.200 bagian tubuh satwa.
Namun, ia menyayangkan hukuman para pelaku kejahatan perdagangan ilegal satwa liar ini rendah dibanding nilai kerugian negara. “Dalam banyak kasus pelaku hanya dihukum 8 hingga 1 tahun pidana dengan denda Rp 2 juta hingga Rp 10 juta saja,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan, Indonesia memiliki sekitar 127,43 juta hektare (ha) kawasan konservasi, 29,68 juta ha hutan lindung dan 69,26 juta ha hutan produksi.
Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki total spesies 133.693 dengan rincian spesies terestrial sekitar 126.824 dan spesies bahari sekitar 6.869.
Namun, sumber daya alam Indonesia menghadapi berbagai ancaman mulai dari kerusakan ekosistem terkait dengan ancaman illegal logging. Selain itu juga perambahan kawasan, kebakaran hutan dan lahan, pencemaran dan perusakan lingkungan. Hal ini berdampak pada satwa dan tumbuhan.
Ia menyatakan, perdagangan ilegal satwa liar masih menjadi tantangan karena dinilai menguntungkan dengan risiko yang sangat rendah. Terutama saat ini dengan pemanfaatan teknologi informasi berupa e-commerce.
“Jaringan ini berantai melibatkan mulai dari pemburu, buyer, trader, consumer. Bahkan beberapa kasus ada potensi pencucian dari satwa menggunakan dokumen seolah-olah dari kegiatan penangkaran secara legal,” tuturnya.
Permintaan Tinggi dan Life Style
Rasio menilai adanya permintaan yang tinggi terhadap satwa liar tak lepas dari life style dan kemudahan akses ke habitat satwa. Ia menekankan pentingnya mix policy instrument dengan mengawinkan antara pemanfaatan pengetahuan dan teknologi lewat kerja sama berbagai sektor di pemerintahan untuk menangani kejahatan satwa liar.
Selain itu, Ditjen Gakkum KLHK terus mendorong sanksi yang lebih berat bagi pelaku perdagangan ilegal satwa liar.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna menyebut, perdagangan ilegal satwa liar menjadi tantangan global di Asia Tenggara. Pasalnya, Asia Tenggara menjadi sumber dan transit perdagangan ini.
Ia mendorong pentingnya kolaborasi semua pihak mulai dari pemerintah, NGO, akademisi hingga masyarakat luas untuk memerangi perdagangan satwa liar dan tumbuhan yang negara lindungi.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin