Jakarta (Greeners) – Kerusakan Teluk Balikpapan akibat pembangunan di Ibu Kota Nusantara (IKN) terus mengancam nyawa ribuan nelayan. Mereka cemas karena sumber kehidupan mereka perlahan-lahan mulai tergusur. Pada Hari Nelayan Nasional tanggal 6 April, para nelayan dan masyarakat pesisir mendesak para pemimpin pascapemilu 2024 untuk memperhatikan nasib nelayan.
“Bukan alat berat atau ekskavator yang membuat kami hengkang, melainkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Jika pesisir dan laut rusak, maka tamatlah hidup kami,” ungkap Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir Kalimantan Timur, Mapaselle lewat keterangan tertulisnya, Senin (8/4).
Ia bersama ribuan nelayan lainnya yang menggantungkan hidupnya kepada sumber perikanan di Teluk Balikpapan, mendesak pemerintah pusat untuk tidak melanjutkan pembangunan IKN. Alasannya, proyek tersebut telah menghancurkan ekosistem Teluk Balikpapan yang merupakan wilayah tangkap mereka.
BACA JUGA: Nelayan Muara Angke: Bertarung untuk Hidup, Berjuang demi Alam
“Kami menginginkan pesisir di Teluk Balikpapan tetap hijau dan lautnya tetap biru. Jika itu bisa dijamin oleh pemerintah, maka kehidupan dan mata pencaharian nelayan akan terjamin pula. Jika tidak, maka kami akan punah,” tegas Mapaselle.
Lebih jauh, ketiadaan isu perlindungan nelayan dalam perdebatan publik oleh calon presiden dan wakil presiden dalam perhelatan pemilu 2024 kemarin, sangat ia sesalkan. Menurutnya, tak adanya isu perlindungan nelayan itu merupakan kekalahan nelayan dan gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
Nelayan Terancam Perampasan Ruang Laut
Mapaselle bercerita, sebelum ada pembangunan IKN, nelayan harus berhadapan dengan ancaman perampasan ruang laut. Pemukiman mereka tidak diakui di dalam Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2021-2041.
“Di dalam Perda RZWP3K tersebut, pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 31,80 hektare. Ini adalah peminggiran terencana bagi lebih dari 10 ribu nelayan yang setiap hari pergi melaut di Teluk Balikpapan. Belum lagi nelayan di wilayah lain di Kalimantan Timur,” paparnya.
Mapaselle pun menceritakan kondisi dirinya yang melaut ke Teluk Balikpapan. Sejak tahun 1990, ia yang berasal dari Sulawesi Selatan mengetahui bahwa tempat tersebut merupakan perairan dengan sumber ikan yang melimpah.
Selanjutnya, pada tahun 1992, ia sampai ke Teluk Balikpapan. Sejak saat itu, ia biasanya berangkat pukul 5 pagi sampai jam 9 pagi. Lalu, pulang dengan membawa banyak ikan ke TPI dengan hasil yang melimpah.
BACA JUGA: AIS Forum Ajak Nelayan Lokal Suarakan Pentingnya Preservasi Sektor Biru
“Itulah gambaran bagaimana Teluk Balikpapan pada masa lalu. Pergi setiap hari serta dapat menikmati ikan yang sangat melimpah. Sejak masa kecil, Teluk Balikpapan adalah rumah bagi nelayan yang mau mencari ikan,” urai Mapaselle.
Namun, kata Mapaselle, mulai tahun 2000 ekosistem Teluk Balikpapan mulai rusak karena masuknya industri ke Teluk Balikpapan. Banyak wilayah hutan hancur dan wilayah mangrove hancur.
Dampaknya, terjadi kekeruhan yang luar biasa dan hancurnya terumbu karang. Ekosistem di Teluk Balikpapan, khususnya mangrove yang semakin rusak sampai hari ini, apalagi dengan adanya pembangunan IKN, beragam kerusakan ini berdampak terhadap kehidupan nelayan.
Negara Gagal Melindungi Nelayan
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional menjelaskan bahwa fakta-fakta tersebut menggambarkan kegagalan negara melindungi dan mengakui nelayan sebagai pahlawan protein bangsa.
Ia mengingatkan publik luas bahwa keberadaan jutaan nelayan adalah pilar tegaknya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
“Jika pemerintah gagal melindungi mereka dalam sepuluh tahuh ini, maka negara ini sedang menuju keruntuhan,” tegasnya.
Menurut Parid, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan kampanye poros maritim dunia. Salah satu isinya adalah menjadikan nelayan sebagai aktor utama dalam pengelolaan pangan laut. Namun, faktanya nelayan di Indonesia terus terpinggirkan akibat kebijakan pembangunan yang ia tetapkan sendiri.
Setelah perhelatan Pemilu 2024, nasib nelayan akan semakin memburuk jika pemerintah tidak segera mengevaluasi dan menghentikan berbagai kebijakan yang meminggirkan mereka.
“Oleh sebab itu, kami mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi dan menghentikan berbagai kebijakan yang mendorong penurunan jumlah nelayan (defisherisation) di Indonesia dari tahuh ke tahun,” ujarnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia