Jakarta (Greeners) – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan musim kemarau pada tahun 2022 akan di bawah normal atau lebih kering. Oleh sebab itu perlu peningkatan kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Kita tahu tahun lalu kemarau itu bersifat di atas normal atau cenderung basah. Jadi jika dibandingkan dengan tahun 2021 maka potensi karhutla di tahun 2022 akan lebih besar,” kata Plt Deputi Klimatologi BMKG Urip Haryoko dalam jumpa Pers virtual: Prakiraan Musim Kemarau 2022, baru-baru ini.
Tak hanya itu, Urip juga menyebut, saat ini sudah terdapat 18 titik hotspot karhutla yang ada di Indonesia. Hotspot terpantau di Aceh, Riau, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan Barat.
“Sehingga jika melihat kecenderungan musim kemarau tahun ini, kita perlu waspada potensi kebakaran hutan dan lahan,” imbuhnya.
Selain itu, Urip menyebut pentingnya pemanfaatan wilayah zona musim yang kemaraunya mundur untuk menampung hujan. Pasalnya, di beberapa wilayah terjadi kemunduran musim kemarau sekitar 47,7 % zona musim (ZOM). Hal ini akan memberikan keuntungan terkait ketersediaan air untuk kebutuhan tanaman pada musim tanam kedua.
“Ini juga memberikan kesempatan pada para stakeholder untuk menampung air atau memanen air hujan dalam mengantisipasi musim kemarau,” ucap Urip.
Waspada Puncak Musim Hujan di Sulawesi dan Ambon
Sementara itu, peningkatan kewaspadaan juga harus masyarakat tingkatkan. Khususnya menghadapi potensi banjir. Sebab di sebagian kecil wilayah masih ada yang memasuki musim hujan saat wilayah lain masuk musim kemarau. Puncaknya, sambung Urip yaitu pada pertengahan tahun 2022 misalnya di wilayah Sulawesi dan Ambon.
“Seperti pada tahun 2020 misalnya terjadi banjir besar di Luwu pada bulan Juli di mana sebagian besar wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. Namun ada beberapa daerah yang justru terjadi banjir,” paparnya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati memprediksi puncak musim kemarau terjadi pada Agustus 2022. Akan tetapi, ia menyebut, awal kemarau pada 163 dari 343 ZOM di Indonesia akan mundur. Pemicunya, yakni fenomena La Nina yang masih ada hingga pertengahan 2022.
“La Nina masih bertahan. Artinya potensi peningkatan curah hujan masih dapat terjadi hingga pertengahan 2022,” kata Dwikorita.
BMKG Bandingkan Musim Kemarau 2022 dengan Periode 1991-2020
Lebih jauh, ia menyebut ada beberapa kecenderungan perbedaan rerata klimatologis mulai dari tahun 1991 hingga 2020 terkait dengan awal musim kemarau. “Awal musim kemarau tahun 2022 di Indonesia diperkirakan mundur pada 163 zona musim atau 47,7 % zona musim mengalami awal musim kemarau mundur,” ungkap dia.
Sementara pada 90 zona musim atau 26,6 % zona musim mengalami musim kemarau yang sama dengan rerata musim kemarau pada tahun 1991 hingga 2020. Sebanyak 89 zona musim atau 26 % zona musim sudah memasuki musim kemarau.
Dwikorita menyatakan, dibanding rerata klimatologis, berdasar akumulasi curah hujan musim kemarau periode 1991 hingga 2020 maka sifat hujan pada musim kemarau tahun ini perkiraannya normal. Atau sama dengan rerata dengan klimatologisnya pada 197 zona musim atau 57,6 % normal.
Akan tetapi, sejumlah 104 zona musim atau 30,4 % akan mengalami kondisi kemarau di atas normal atau musim kemarau lebih basah dari rerata klimatologisnya. Ia menyebut turunnya hujan di musim kemarau lebih tinggi dari rerata klimatologisnya. Sebanyak 41 zona musim atau 12 % zona musim akan mengalami musim kemarau di bawah normal atau lebih kering yaitu curah hujan lebih rendah dari reratanya.
Dwikorita menyatakan, BMKG memperkirakan puncak musim kemarau tahun ini pada bulan Agustus, yakni sebanyak 52,9 % zona musim. “Kemudian kami simpulkan musim kemarau pada tahun ini akan datang lebih lambat dibandingkan normalnya. Dengan intensitas yang mirip dengan kondisi musim kemarau biasanya,” ungkapnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin