Munculnya Konten Konservasi Menumbuhkan Kecintaan pada Puspa dan Satwa

Reading time: 3 menit
Konten konservasi berperan penting membangkitkan optimisme publik untuk terus mendukung pelestarian satwa dan tumbuhan. Foto: Freepik
Konten konservasi berperan penting membangkitkan optimisme publik untuk terus mendukung pelestarian satwa dan tumbuhan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) pada 5 November menjadi momentum penting untuk mendorong kecintaan terhadap satwa dan tumbuhan melalui penyebaran konten konservasi. Konten yang berisikan upaya konservasi ini berperan penting dalam menumbuhkan rasa optimisme publik untuk terus mendukung pelestarian satwa dan tumbuhan.

Menurut peneliti dan aktivis lingkungan, Rheza Maulana, konten yang menunjukkan upaya pelestarian satwa dan tumbuhan di lapangan adalah bukti nyata perjuangan untuk menjaga alam tetap lestari, bukan dengan menyerah atau pasrah.

“Konten-konten seperti ini dapat membangkitkan semangat konservasi dan menepis rasa pesimis terhadap pelestarian satwa dan tumbuhan Indonesia,” ungkap Rheza kepada Greeners dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/11).

Ia juga mengingatkan publik untuk tidak mudah terhasut oleh narasi-narasi keliru yang banyak tersebar di media sosial. Sebab, hal tersebut dapat menimbulkan kesalahan informasi, contohnya terkait misinformasi pelestarian satwa.

BACA JUGA: Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, WWF Soroti Perdagangan Satwa Ilegal

“Sering kali saya mendengar pernyataan di media sosial seperti ‘Satwa kalau di hutan nanti diburu, jadi lebih baik dipelihara saja,’ atau ‘Kita pelihara satwa di rumah supaya tidak punah, setidaknya kalau punah di alam, masih ada di kandang.’ Itu adalah pernyataan yang keliru dan justru semakin mendorong kerusakan alam dan kepunahan satwa!” ujarnya.

Menurutnya, pola pikir tersebut perlu diubah dengan menunjukkan bahwa ada upaya-upaya konservasi yang nyata dan berhasil. Ia mengajak publik untuk fokus pada hal-hal positif tersebut dan mendukungnya.

Rheza menambahkan, mencintai satwa dan tumbuhan berarti membiarkan mereka hidup bebas dan sejahtera di alam liar, tanpa harus memilikinya. Menurutnya, seluruh pihak—baik individu maupun komunitas—harus terus berjuang untuk melindungi alam dengan memberikan ruang bagi satwa dan tumbuhan untuk hidup.

Peneliti dan Aktivis Lingkungan, Rheza Maulana. Foto: Rheza Maulana

Peneliti dan Aktivis Lingkungan, Rheza Maulana. Foto: Rheza Maulana

Konten Konservasi Bermunculan

Selain itu, kini semakin banyak akun-akun yang secara khusus membahas pelestarian alam, baik dari individu maupun kelompok. Banyak pula yang membuat podcast atau berita yang mengangkat kisah sukses dalam pelestarian satwa. Menariknya, hal ini tidak hanya dilakukan oleh kalangan masyarakat umum. Figur publik pun turut menyuarakan pentingnya pelestarian alam.

Rheza menilai bahwa perkembangan ini adalah bukti nyata bahwa masyarakat sudah mulai lelah “ditutup matanya” dan kini berani untuk “melek” terhadap isu-isu pelestarian alam. Ia menambahkan bahwa perubahan ini terjadi secara alami, dan hal-hal positif semacam ini memang sangat menular. Oleh karena itu, sangat penting untuk terus menyuarakan dan menyebarkan konten yang mendukung pelestarian satwa dan tumbuhan.

“Ini adalah bukti bahwa masyarakat sudah mulai sadar dan berani berbicara. Kita harus terus mendorongnya agar semakin banyak orang yang terlibat,” ungkap Rheza.

Media Sosial seperti Pedang Bermata Dua

Sementara itu, manfaat media sosial ini tidak selalu membawa dampak positif. Rheza menilai bahwa media sosial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, platform ini bisa menjadi sarana efektif untuk memajukan pelestarian alam. Namun, di sisi lain, pengguna media sosial juga bisa memanfaatkan platform ini untuk menyebarkan konten yang merusak, seperti eksploitasi satwa atau perusakan hutan.

Konten-konten yang menggambarkan kerusakan alam atau eksploitasi satwa sering kali dikemas dengan cara yang menarik. Sehingga, memanipulasi masyarakat untuk ikut serta dalam perusakan tersebut. Namun, Rheza mencatat ada perubahan yang mulai terlihat, yaitu pergeseran dari konten negatif menuju konten positif dan edukatif.

“Saya rasa warganet mulai jenuh dengan konten eksploitasi yang itu-itu saja. Sehingga, banyak yang mulai mempertanyakan substansi suatu konten secara kritis,” ujar Rheza.

Banyak praktik yang dulu dianggap normal, seperti eksploitasi alam atau perburuan satwa, kini mulai disadari sebagai tindakan yang merugikan lingkungan dan kehidupan satwa,” katanya.

Menurutnya, masyarakat mulai merespons dengan cara yang lebih kritis, seperti memboikot praktik-praktik tersebut. Beberapa bahkan membuat petisi atau mengadakan demonstrasi untuk menentang eksploitasi alam dan satwa.

Dari Kesadaran Individu ke Tindakan Kolektif

Seorang pegawai swasta sekaligus pencinta binatang, Fahira Aninditya (23), menilai konten yang fokus pada pelestarian satwa dan tumbuhan merupakan hal positif. Itu harus dikembangkan di setiap platform media sosial.

Baginya, konten seperti pelestarian satwa nantinya dapat menciptakan pemikiran yang lebih empatik di kalangan individu untuk tidak memburu atau menyiksa binatang. Hal ini juga bisa menyadarkan banyak orang bahwa kita harus saling berdampingan menjaga alam, bukan merusaknya.

BACA JUGA: Pidada Putih, Maskot Terbaru Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 2021

Sebagai sosok yang memiliki banyak kucing, Fahira merasa tersentuh setiap kali melihat konten-konten yang mendukung pelestarian hewan. Ia berharap agar binatang-binatang di Indonesia bisa mendapat perlindungan dari setiap individu dan pemerintah.

“Media sosial merupakan platform paling efektif untuk membangun kesadaran tentang pentingnya menyayangi satwa. Dengan konten-konten pelestarian, saya berharap bisa terhubung dengan satwa-satwa yang belum pernah saya temui,” katanya.

Dengan demikian, penting bagi setiap individu untuk tidak hanya peduli, tetapi juga bertindak untuk melindungi satwa dan tumbuhan yang semakin terancam. Salah satunya dengan lebih sering membagikan konten yang mendukung konservasi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top