Dilupakan Bangsanya Sendiri
Budaya instan agaknya telah mengurangi minat generasi muda untuk mengenal dan mempelajari lebih jauh mengenai kertas daluang ini. Lebih lanjut Mufid mengemukakan bahwa seiring dengan majunya industri pulp dan kertas, daluang seakan-akan telah menjadi barang asing, bahkan bagi bangsa sendiri. “Padahal jika dilihat dari sudut estetika maupun dari nilai kearifan budaya, jelaslah bahwa pembuatan kertas daluang ini mempunyai nilai yang sangat lebih dibanding dengan kertas biasa. Yang sekarang saya harapkan dari generasi muda hanyalah supaya mereka mau berkenalan dulu dengan daluang ini. Kesananya, ya terserah mereka. Tapi setidaknya saya sudah melakukan apa yang dapat saya lakukan,” tuturnya dengan nada ironi yang tersirat dalam suaranya.
Mungkin karena faktor proses pembuatannya yang memakan waktu lumayan panjang dan harga yang tak mampu bersaing dengan kertas-kertas konvensional, sekarang orang-orang yang berusaha untuk melestarikan kertas ini sangatlah jarang. “Padahal dengan melestarikan kertas daluang ini, otomatis kita juga telah berusaha untuk melakukan suatu kegiatan menuju pelestarian alam, dan tentunya ramah lingkungan,” ujar Mufid. Sangat masuk akal memang, karena dengan memutuskan untuk menggeluti kertas daluang ini setidaknya kita harus peduli dan ikut memperhatikan habitat pohon saeh.
Sebuah fakta membisikan kabar buruk bagi kita, bahwa tanaman saeh ini, meski merupakan tanaman yang mudah tumbuh, sedang berada pada titik kepunahan yang nyata. Ya, titik kepunahan yang nyata! “Saya sendiri tak tahu pasti, namun menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya, di Nusantara ini hanya beberapa tempat saja yang masih bisa ditemukan pohon saeh, dan jumlahnya pun dapat dihitung dengan jari sebelah tangan!” tutur Mufid. Ini dipertegas dengan fakta yang dipaparkan oleh Tedi Permadi, yang pernyataannya kami kutip dari salah satu surat kabar nasional (PikiranRakyat) pada beberapa waktu yang lalu; “Keberadaannya di Nusantara makin sulit ditemui. Di belahan Sumatra, tanaman ini sudah punah. Di Pulau Jawa hanya bisa ditemui di Garut. Lalu, baru akan kita temui lagi di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.”
Ketika ditanya harapannya kepada pemerintah mengenai usaha yang sedang dilakukannya ini, ia hanya berkata lirih, “Saya ragu, mungkin hanya sedikit sekali dari orang-orang pemerintah yang sadar terhadap kearifan budaya yang terkandung di dalam kertas daluang ini. Dan walaupun ada yang sadar, mereka sepertinya tak tahu apa yang selanjutnya harus dilakukan… untuk saat ini lebih baik saya tidak bergantung kepada siapapun, apalagi kepada pemerintah,” ia lalu terdiam sejenak, menghirup rokoknya dalam-dalam sementara tangannya sibuk membolak balik kertas daluang yang berhamparan di depannya, “Padahal untuk dapat memastikan masyarakat tidak lupa dengan kertas ini sebenarnya sederhana: gunakan saja kertas daluang ini untuk penggunaan yang mutlak terjadi setiap hari. Contoh gampangnya: digunakan sebagai kertas Akta Kelahiran, misalnya. Manusia baru terlahir setiap setiap hari. Nah, alangkah indahnya jika akta yang menandakan kelahiran mereka dibuat di atas kertas yang juga menjadi identitas budayanya. Dengan begitu kertas daluang ini akan kembali mempunyai nilai fungsi di tengah masyarakatnya sendiri. Dan secara otomatis hal ini akan merangsang timbulnya orang-orang yang berkepentingan untuk membuat kertas daluang,” lanjutnya dengan nada lebih bersemangat.
Waktu berlalu tak terasa, matahari tenggelam semakin jauh, anak-anak yang tadi mandi di sungai kecil di samping bengkel sekarang telah berpakaian rapi hendak menunaikan sholat Magrib. Telah tiba saat bagi kami untuk berpamitan, meski sebenarnya udara sejuk di kawasan dago pojok telah membuat kami betah dan ingin bercakap-cakap lebih lama. Namun akhirnya kami memutuskan diri untuk berpamitan juga, setelah sebelumnya kami meminta sepatah-duapatah kata sebagai tanda mata bagi kami dan pembaca Greeners: “Tidak ada salahnya mempelajari masa lalu untuk kemudian dipertahankan dan dikembangkan, selain dapat bernilai ekonomis juga yang terpenting untuk kearifan budaya nasional dan Nusantara… kalau tidak kita, siapa lagi!?” ucapnya sebagai tanda perpisahan kami.(end)