Jakarta (Greeners) – Berbagai pihak mendesak pemerintah agar segera mengaudit Undang-Undang (UU) Penataan Ruang. Pasalnya, masih banyak korban jiwa yang timbul dikarenakan upaya mitigasi belum maksimal.
Dosen Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Rikardo Simarmata mengatakan bahwa secara spesifik UU mengenai tata ruang yang memperhitungkan kebencanaan belum ada. Namun hal tersebut bisa dilihat secara terpisah di dua kebijakan, yakni UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Hanya dua itu. Seharusnya kalau tidak mau dibuat UU terkait kebencanaan, setiap UU yang berkaitan dengan tata ruang harus memiliki perspektif kebencanaan. Jika dilihat UU Kehutanan tidak ada yang menggambarkan perspektif kebencanaan. Seharusnya tata ruang kebencanaan ini menyeluruh bukan hanya UU tertentu,” ujar Rikardo saat ditemui Greeners dalam acara diskusi media bertajuk Audit Tata Ruang: Menelisik Pengetahuan Lokal Atas Ruang Dan Kebijakan Pembangunan Nasional, Jakarta, Minggu (06/01/2019).
BACA JUGA: LIPI Sarankan Pemerintah Membuat Provinsi Peringatan Dini
Menurut Rikardo pada UU Nomor 26 Tahun 2007 jelas menyatakan bahwa kawasan rawan bencana menjadi indikator kawasan lindung. Namun pada kenyataannya, banyak kawasan rawan bencana dijadikan kawasan permukiman, budaya, atau perekonomian.
“Jika ingin mengurangi risiko bencana perlu dilakukan audit tata ruang dulu, seberapa besar kawasan bencana yang dijadikan kawasan lindung dan tidak. Karena data yang dihasilkan bisa dijadikan data untuk Pemda mengatur wilayah,” jelas Rikardo.
Rikardo menegaskan bahwa pemerintah daerah berperan penting pada tata ruang kebencanaan ini. Menurutnya, apabila pemda tidak memasukkan wilayah rawan bencana ke tata ruang kebencanaan, bisa diartikan bahwa wilayah tersebut dilegalkan untuk dilakukan pembangunan.
Terkait pengaturan wilayah kebencanaan, Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai telah mengatur tentang batas sempadan pantai untuk daerah rawan bencana di wilayah pesisir. Menurut Rikardo, aturan ini pun masih sering dilanggar oleh Pemda.
BACA JUGA: LIPI Dorong Pendidikan Bencana untuk Mengurangi Risiko Bencana
Dalam acara yang sama, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Sukmandaru mengatakan bahwa untuk mendukung penyusunan tata ruang kebencanaan peta wilayah rawan bencana dan peta potensi bencana sudah tersedia, namun informasi tersebut kurang diperhatikan.
“Peta-peta rawan bencana dan potensi bencana selalu dirilis dan mudah sekali untuk diakses, menginformasikan daerah mana yang rawan. Peta-peta tersebut bisa dijadikan rujukan penyusunan tata ruang kebencanan,” ujar Sukmandaru.
Ia juga mengatakan bahwa Indonesia saat ini memiliki 295 patahan yang aktif dari Sabang sampai Merauke dan perlu diwaspadai. Oleh karena itu percepatan audit tata ruang kebencanaan sangat diperlukan.
Berbeda dengan Sukmandaru, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nur Hidayati mengkritisi peta-peta terkait wilayah rawan bencana yang tidak cukup detail. Hal tersebut menurutnya mengakibatkan masyarakat sulit untuk mengerti dan rencana-rencana kesiapsiagaan di daerah terhambat.
“Peta-peta ini harus disediakan dalam skala yang cukup detail dan diturunkan ke desa-desa. Kalau perlu dibuat pertemuan antara masyarakat yang didampingi oleh pemda setempat sehingga informasi kerentanan bencana di wilayah tersebut bisa terinfomasikan dengan baik dan menjadi rujukan pembangunan di wilayah tersebut supaya tidak ada lagi pembangunan di kawasan rawan bencana,” ujar perempuan yang akrab disapa Yaya ini.
Yaya juga mengatakan agar masyarakat yang berada di wilayah-wilayah rawan bencana harus diedukasi dan diinformasikan agar penyelamatan jiwa bisa ditingkatkan dan lebih siapa siaga untuk menghadapi bencana.
Penulis: Dewi Purningsih