Jakarta (Greeners) – Tumbuh suburnya para pelaku usaha sosial atau social entrepreneur di masyarakat urban menjadi tren tersendiri dalam pengelolaan sampah di Tanah Air. Data KLHK menyebut, ada 209 para pelaku usaha sosial aktif dalam pengelolaan sampah.
Sebelumnya, pengelolaan sampah hanya mengandalkan cara-cara konvensional seperti pemanfaatan bank sampah hingga melalui TPS3R (reduce, reuse, dan recycle).
Namun saat ini, inovasi dari para pelaku usaha sosial membuka ekosistem pengelolaan sampah lebih luas. Misalnya, melalui berbagai usaha seperti toko curah, bisnis refill, bisnis reuse, hingga waste collection and recycle.
Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengurangan Sampah KLHK Ujang Solihin Sidik menyatakan, para pelaku social entrepreneur merupakan bagian dari ekosistem circular economy yang kini tengah dikembangkan.
“Perannya bergantung pola model bisnis yang mereka jalankan. Ada yang refill atau reuse, daur ulang, hingga inovasi kemasan atau mesin,” katanya kepada Greeners, baru-baru ini.
Dirjen PSLB3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati juga menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak bermunculan pelaku usaha yang terjun di sektor sampah. “Usaha bisnisnya pun tidak hanya berorientasi pada profit semata. Namun juga menekankan faktor lingkungan dan pelibatan masyarakat,” ucap Vivien baru-baru ini.
Kontribusi Generasi Milenial Sebagai Social Entrepreneur
United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan social entrepreneurship merupakan bisnis inklusif yang melibatkan masyarakat miskin dalam rantai nilai sebuah perusahaan, baik itu pelanggan, penyedia, pengusaha atau karyawan. Terciptanya bisnis ini menekankan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan dampak sosial.
Studi Siti Widharetno Mursalim yang diterbitkan di Atlantis Press 2019 menyebut banyak pelaku social entrepreneur yang muncul dan dari orang-orang muda lahir pada tahun 1990-an hingga 1997-an atau generasi milenial.
Padahal generasi milenial dianggap sebagai generasi yang sibuk dengan gadget dan teknologi. “Tapi mereka memiliki komitmen yang kuat untuk memecahkan masalah sosial permasalahan di Indonesia. Melalui kemampuan teknologi tinggi, mereka bisa memanfaatkannya untuk organisasi sosial mereka,” kata Siti dalam studinya.
Rosa Vivien juga menilai, anak-anak muda mempunyai cara tersendiri dalam memecahkan persoalan dalam pengelolaan sampah.
“Ini gaya mereka, kita tidak bisa maksa mereka (untuk mengikuti cara konvensional). Dengan kehadiran social entrepreneur ini bisa mendorong para generasi muda bisa berperan mengelola sampah untuk memberikan kesejahteraan dalam masyarakat,” tuturnya.
Solusi Baru Penanganan Sampah
Brand Marketing Eco Touch Agnes Kiki menyatakan, Eco Touch berdiri karena keresahan terhadap sampah tekstil. Ia menyebut, sampah tekstil berkontribusi sebesar dua hingga tiga juta ton terbuang ke landfill.
“Namun bagaimana dengan pakaian berbahan sintetis tidak terurai. Karena permasalahan ini dan belum ada yang menangani akhirnya kita bentuk Eco Touch,” katanya.
Eco Touch merupakan perusahaan daur ulang sampah tekstil menjadi produksi insulation felt dan jaket denim hingga produk tas yang berlokasi di Bandung.
Seperti halnya sampah, sampah tekstil perlu dipilah terlebih dahulu bahan-bahan di dalamnya, termasuk kancing, label, hingga komposisi bahannya. Ini menjadi tantangan tersendiri Eco Touch.
“Tadinya hanya akan memproduksi. Tapi ternyata karena tak ada yang mampu post waste maka jadi waste management. Semuanya kita urus sendiri, termasuk pengumpulan, pengolahan hingga distribusinya,” ungkapnya.
Ia menyebut, tantangan ke depan yakni semakin meningkatnya produksi tekstil di Indonesia diikuti dengan penggunaan bahan sintetis seperti polyster. “Ini memicu banyaknya limbah tekstil sehingga berdampak pada polusi, perubahan iklim dan keanekaragaman hayati,” imbuhnya.
Social entrepreneur Ide Inovasi Bukan Solusi Masif
Menanggapi hal ini, Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Risallwan Lubis menyatakan tren social entrepreneur dalam pengelolaan sampah merupakan ide inovatif. Namun bukan solusi masif yang bisa menyelesaikan akan permasalahan sampah dari perkotaan hingga pelosok desa.
“Tapi inovasi ini tetap perlu diapresiasi sebagai bentuk kontribusi upaya pengelolaan sampah. Terutama dalam masyarakat urban,” ujar dia.
Ia yakin akan semakin banyak inovasi-inovasi dari para pelaku usaha ini yang didominasi anak muda di masa mendatang.
Selain memanfaatkan teknologi sehingga berpotensi menyelesaikan persoalan sampah secara praktis, generasi muda juga lebih fleksibel. “Ini sejalan dengan gaya hidup kita yang inginnya sampah kita kelola lebih kekinian,” kata dia.
Risallwan mengingatkan tantangan dari para pelaku usaha sosial ini yakni kehadiran “mafia sampah” yang pada dasarnya tak menyelesaikan persoalan sampah. Tapi hanya memindahkan sampah yang tidak memahami konsep dan praktik reduce, reuse, recycle, recovery dan repair (5R).
Senada dengannya, Pengamat persampahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri berpendapat, pengelolaan sampah membutuhkan peran teknologi seperti dalam social entrepreneur ini.
“Sampah tidak boleh mengendap lama. Kita tidak bisa hanya menggunakan pendekatan skala masyarakat yang konvensional saja,” tandasnya.
Peluang Pasar Tinggi
Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano menyatakan, peluang pasar pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan sampah sangat tinggi. Termasuk pasar Waste4Change.
Berdasarkan riset Kemenkomarves dan Bappenas untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia dalam bidang teknologi butuh sebesar US$ 18 billion atau Rp 270 triliun per tahun.
Sedangkan biaya operasional pengelolaan sampah yakni US$ 2,2 billion atau Rp 33 triliun per tahun. “Ini pasar yang sangat besar, tinggal bagaimana ekosistemnya, termasuk regulasi dan peran swasta di dalamnya,” kata dia.
Penulis: Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin