Jakarta (Greeners) – Mikroplastik kini menjadi ancaman yang mengganggu ekosistem dan kesuburan tanah. Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova mengatakan, mikroplastik di tanah lebih tinggi antara 4 sampai 20 kali lipat dibandingkan ancaman mikroplastik di lautan.
Seiring meningkatnya penggunaan plastik, mikroplastik kian mengancam kesuburan tanah. Sebab, mikroplastik bisa menyebabkan hilangnya produktivitas tanah, pencemaran air tanah, dan mengancam mikroorganisme dalam tanah.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton sampah plastik per tahun. Hanya sekitar 10% yang didaur ulang. Sekitar 4,8 juta ton sampah tidak terkelola dengan baik.
“Penelitian terkait pencemaran plastik di tanah ini masih terbilang sedikit. Namun, sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa plastik merupakan sebuah benda yang memicu kerusakan lingkungan semakin parah,” ujar Reza kepada Greneers, Selasa (4/6).
BACA JUGA: 70% Sumber Air Minum Perkotaan Tercemar Tinja
Ketika plastik dibuang ke lingkungan, seperti ke Tempat Pemoresan Akhir (TPA) atau secara sembarangan di alam, plastik tersebut akan terurai menjadi mikroplastik. Potongan plastik kecil-kecil itu bisa mencemari tanah.
“Plastik yang masuk ke tanah akan menyebabkan keluarnya material berbahaya bagi tanah dan air tanah. Ada penelitian yang menyatakan sampah plastik ini membutuhkan 500 sampai 1.000 tahun ketika sudah terkubur di dalam tanah. Namun, yang terjadi plastik akan mengeluarkan material aditif pelan-pelan sehingga dapat ‘meracuni’ tanah. Jadi, ada dampak negatif dalam jangka panjang bagi lingkungan,” ungkapnya.
Plastik Ganggu Keseimbangan Ekosistem tanah
Plastik yang masuk ke dalam tanah akan melepaskan material aditif dan terdegradasi pelan-pelan. Selanjutnya, material tersebut berinteraksi dengan organisme yang hidup di tanah, seperti cacing tanah.
Plastik yang terurai menjadi mikroplastik juga dapat masuk ke dalam tanah dan mengendap di dalamnya. Hal ini dapat mengganggu keseimbangan ekosistem tanah dan menghambat pertumbuhan tanaman.
Di sisi lain, terdapat berbagai larva organisme atau hewan renik lainnya yang memiliki fungsi kesuburan dari tanah juga akan terancam oleh mikroplastik. Masuknya plastik akan mempengaruhi tingkat kesuburan, hingga menurunkan kesuburan tanah akibat sampah plastik yang mengganggu kehidupan dari hewan renik tersebut.
“Hal ini akan mengakibatkan gangguan fungsi ekosistem dan juga air tanah,” tambah Reza.
Air Tanah Bisa Terkontaminasi Mikroplastik
Sementara itu, mikroplastik yang terperangkap di dalam tanah juga dapat mencemari air tanah. Hal ini dapat berdampak negatif pada kualitas air yang masyarakat gunakan untuk irigasi atau sebagai sumber air minum.
Reza mengungkapkan, terdapat beberapa penelitian yang menyatakan air tanah telah terkontaminasi mikroplastik dan bahan aditif. Kedua bahan itu terkandung pada plastik tersebut.
BACA JUGA: Kualitas Air Tanah Jakarta Kritis
“Bahan aditif tambahan yang berbahaya seperti Phthalate dan Bispenol-A, yang terkandung pada plastik, akan ‘lepas’ dari plastik. Kedua bahan aditif tersebut akan mengganggu sistem hormonal untuk organisme yang berinteraksi pada ekosistem tanah yang terkontaminasi plastik,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Reza, plastik yang berukuran kecil pada ekosistem tanah dapat menyebabkan peradangan dan masuk pada organ sensitif organisme. Hal itu dapat memicu reaksi biokimia hingga perubahan ekspresi genetik.
Sulit Pulihkan Pencemaran Tanah
Reza menyatakan, saat ini cukup sulit untuk memulihkan tanah yang terkontaminasi oleh plastik, terutama jika pencemaran itu terjadi dalam waktu lama.
Menurutnya, saat ini perlu pendekatan teknologi yang dikombinasikan dengan kebijakan yang tepat. Kemudian, masyarakat juga bisa beralih untuk menggunakan plastik yang berkelanjutan untuk mengurangi produksi virgin plastik.
“Kemungkinan besar hal ini baru terjadi beberapa waktu yang akan datang karena teknologinya saat ini belum bisa menjawab tantangan tersebut. Pada dasarnya yang terpenting adalah melakukan sistem reuse dan refill, pendekatan teknologi yang tepat guna, dan tentu dalam payung hukum yang melindungi keberlanjutan lingkungan hidup,” ungkap Reza.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia