Jakarta (Greeners) – Pelaksanaan restorasi lahan gambut pada prinsipnya dilaksanakan pada areal lahan gambut yang telah mengalami degradasi. Degradasi lahan gambut ini bisa disebabkan oleh pembukaan lahan besar-besaran hingga kebakaran hutan. Dalam konsep restorasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah, terdapat tiga teknik pendekatan restorasi lahan gambut yang dilakukan, yaitu pembasahan (Rewetting/R1), penanaman ulang atau revegetasi (R2), dan revitalisasi sumber mata pencaharian (R3).
Untuk fokus perhatian pada vegetasi, diperlukan identifikasi berbagai faktor yang terkait seperti karakter lahan (kedalaman gambut, kedalaman genangan air, dan kedalaman muka air tanah) dan kondisi airnya yang perlu diketahui terkait tingkat genangan pada musim hujan dan musim kemarau.
Menanggapi hal ini, Konsorsium Petuah (Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau) mengaku sedang menyusun satu metode rekomendasi pengurangan risiko kebakaran di lahan gambut untuk diajukan kepada Badan Restorasi Gambut (BRG), Pemerintah maupun perusahaan. Akademisi dari Universitas Sriwijaya yang juga Ketua Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Sumatera Selatan, Rujito Agus Suwignyo, menjelaskan, metode yang tengah disusun proposalnya ini bernama Bio-Cyclo-Farming.
BACA JUGA: BRG Siapkan Peternakan Sapi di Atas Lahan Gambut
Bio-Cyclo Farming adalah sistem pertanian yang memadukan unsur tanaman, ternak, perikanan yang diatur sedemikian rupa sehingga bersinergi antara satu dengan lainnya hingga terjadi proses daur ulang alami secara biologis. Tiga komponen utama dalam metode Bio-Cyclo-Farming yaitu budidaya tanaman, budidaya ikan dan budidaya ternak.
“Ini sedang kita susun proposalnya. Targetnya, kita berharap tahun ini bisa kami ajukan,” kata Rujito, Jakarta, Senin (13/03).
Lebih lanjut Rujito menjelaskan, metode Bio-Cyclo-Farming dengan komponen budidaya tanaman harus menggunakan tanaman yang relatif toleran terhadap kebakaran seperti lidah buaya atau buah naga. Sedangkan untuk lahan gambut yang sudah terlanjur dibudidayakan dengan tanaman tahunan seperti perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), maka penanaman dari berbagai jenis sukulen (tanaman yang dapat menyimpan air dalam berbagai bagian seperti daun, batang, akar) dapat diatur melalui pola penanaman campuran (tumpang sari). Sedangkan untuk budidaya tanaman tahan air tergenang bisa menggunakan nenas, sagu maupun kayu jelutung.
Pada metode Bio-Cyclo-Farming dengan komponen budidaya ikan, lanjutnya, masyarakat dapat memanfaatkan kanal-kanal, parit-parit, dan saluran air gambut dengan memasang tanggul yang akan berfungsi sebagai sekat bakar. Tekniknya, kata dia, di sepanjang saluran air yang banyak terbengkalai di lahan gambut seharusnya bisa dipasang tanggul untuk menyekat parit atau saluran sehingga terbentuk kolam yang panjang.
BACA JUGA: PP 57/2016 Tegaskan Larangan Pembukaan Lahan Gambut
Selain itu, budidaya ikan di lahan gambut juga bisa dilakukan dengan menggunakan sistem kolam beje. Kolam berukuran lebar 2 sampai 4 meter, panjang 10 sampai 20 meter dan kedalaman hingga 1 sampai 2 meter bisa dibuat berdekatan dengan sungai untuk menjebak dan sekaligus memelihara ikan. Karena pada musim hujan, kolam-kolam beje ini akan mendapat luapan air dari sungai di dekatnya dan pada musim kemarau, kolam beje masih akan tetap berair sehingga mampu berfungsi sebagai sekat bakar.
“Jenis-jenis ikan yang bisa dibudidayakan pun beragam, ada lele, gabus, sepat, betok, dan beberapa jenis ikan lain yang adaptif dengan ekosistem gambut,” tambahnya.
Menurut Rujito, metode Bio-Cyclo-Farming dengan komponen budidaya ternak lebih membahas tentang bagaimana limbah ternak dapat diolah menjadi pupuk organik dan pupuk cair untuk digunakan pada budidaya tanaman. Sedangkan kotorannya dapat menghasilkan biogas untuk menjadi sumber energi masyarakat.
Sebagai informasi, Konsorsium Petuah MCA (Millenium Challenge Acount)-Indonesia adalah Konsorsium Pengetahuan Hijau yang terdiri atas tujuh Pusat Unggulan (Center of Excellences/CoE) dan bertujuan mengumpulkan pengetahuan serta praktik terbaik yang berkaitan dengan kebutuhan lokal dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Konsorsium ini diketuai oleh Institut Pertanian Bogor dengan beranggotakan dari enam universitas, yaitu Universitas Hasanuddin, Universitas Jambi, Universitas Mataram, Universitas Nusa Cendana, Universitas Udayana dan Universitas Sriwijaya.
Penulis: Danny Kosasih