Laporan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Litbang KPK) memaparkan gap biaya Pilkada dan kemampuan finansial calon yang berisiko memunculkan benturan kepentingan. Gap biaya memunculkan para penyokong dana yang nantinya akan menagih janji kepada para calon. Di daerah yang kaya akan sumber daya alam, biasanya imbalan yang para penyokong dana inginkan seperti permudahan izin usaha atau keamanan dalam menjalankan bisnis.
Jakarta (Greeners) – Dalam webinar Peluncuran Laporan Pilkada 2020: Vaksin Imunitas Bagi Oligarki Senin, (07/12/2020), Ahmad Ashov Birry, Jurubicara #BersihkanIndonesia dari Trend Asia, mengatakan Anggaran Pilkada 2020 yang semula Rp15,23 triliun membengkak jadi Rp20,46 triliun akibat kebutuhan protokol kesehatan.
“Beragam krisis sosial dan ekologis yang dirasakan masyarakat tidak muncul dalam pesan-pesan kampanye. Prosedur demokrasi yang berlangsung masih terputus dari harapan rakyat untuk terbebas dari krisis, yang ada hanya menjembatani kepentingan politisi dan pelaku bisnis melalui ijon politik,” ujar Ashov.
Ashov lalu mengutip laporan Litbang KPK berjudul “Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015”. Dalam laporan itu, lanjutnya, biaya untuk menjadi Walikota/Bupati mencapai Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Sedangkan untuk menjadi Gubernur bisa mencapai Rp20 miliar hingga Rp100 miliar. Padahal, Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan total harta kekayaan calon Kepala Daerah pada 2015 rata-rata hanya mencapai Rp6,7 miliar.
KPK: Mayoritas Calon Kepala Daerah Memiliki Sponsor
Pernyataan Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK Wawan Wardiana memperkuat argumen Ashov. Pada webinar terpisah (26/11), Wawan menyampaikan berdasarkan hasil survei KPK, mayoritas calon kepala daerah memiliki sponsor.
“Jadi ada 82,3 persen pada tahun 2018 itu yang menyatakan bahwa –karena dana yang mereka miliki relatif kecil dibanding biaya yang mereka keluarkan– jadi mereka menyatakan bahwa mereka dibantu oleh donatur atau sponsor. Bantuan yang diberikan tidak terbatas pada masa kampanye tapi sejak sebelum kampanye,” kata Wawan.
Wawan menyebutkan komponen yang paling besar dalam pendanaan Pilkada ialah untuk biaya sosialisasi dan pertemuan. Selanjutnya, biaya operasional seperti logistik, transportasi, konsumsi, atribut, baliho. Kemudian biaya saksi, dan dana kampanye.
Baca juga:#BersihkanIndonesia: Pilkada 2020 Menstimulus Proyek Industri Ekstraktif
KPK: Sponsor Pilkada Kepala Daerah Harapkan Timbal Balik
Survei tersebut juga menanyakan ‘apakah para donatur dan sponsor mengharapkan balasan jika calonnya terpilih?’. Jawabannya, berdasarkan temuan dalam Pilkada 2018, sebanyak 76,3% para penyokong dana tersebut mengharapkan mendapatkan balasan. Separuh lebih dari penyokong dana menyampaikan keinginan tersebut secara eksplisit baik tertulis maupun lisan.
“Ujung-ujungnya mereka ingin dipermudah kalau mereka melakukan perizinan. Termasuk kehutanan atau perizinan yang lain. Kemudahan untuk ikut serta dalam tender nanti, kemudian yang ketiga mereka ingin jaminan keamanan pada saat menjalankan bisnis mereka. Parahnya, 83,80% calon kepala daerah yang dibantu menyatakan kesanggupan memenuhi harapan penyokong dana. Hampir 84% mereka menjawab ‘ya’, akan memenuhi permintaan para sponsor tadi,” papar Wawan.
Wawan mengingatkan bahwa korupsi tidak hanya berarti disfungsi pemerintah, seringkali merupakan keberadaan lembaga alternatif yang mampu mempertahankan jejaring kekuasaan yang lebih berkuasa dari lembaga yang legal. Sementara itu, modal sosialnya justru berasal dari administrasi negara.
“Sejak 2010 KPK berusaha mencegah dan memberantas korupsi dalam tata kelola kehutanan, sejak perencanaan. Salah satunya,menyangkut perizinan. KPK menemukan adanya upaya suap. Ternyata mereka harus mengeluarkan 600 juta hingga 22 miliar per tahun untuk mendapatkan konsesi, uang yang beredar pun sangat besar,” tambahnya.
Penulis: Dewi Purningsih