Jakarta (Greeners) – Di tengah wacana pencabutan larangan ekspor, Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai mengkaji pemanfaatan potensi lobster melalui kegiatan budidaya. Rencana yang disampaikan Menteri Edhy Prabowo tersebut juga menuai pro dan kontra di masyarakat.
“Terkait rencana dibukanya ekspor benih, saya tegaskan itu hanyalah salah satu opsi yang muncul dari beberapa dialog dengan masyarakat nelayan. Sampai saat ini belum ada keputusan final apapun berkaitan dengan isu tersebut,” ujar Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo saat melakukan peninjauan pembesaran benih lobster di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis, (26/12).
Menurut Edhy, kegiatan budidaya lobster harus didorong. Ia mencontohkan, jika Vietnam mampu membangun ekosistem pengembangan, Indonesia harus lebih mampu dan menguasai pasar konsumsi lobster dunia. “Kalau perlu sampai pada tahap budidaya, KKP akan bekerja sama dengan ACIAR dan Universitas Tasmania, Australia yang telah berhasil membenihkan dan membudidayakan lobster secara berkelanjutan agar tidak merusak plasma nutfah lobster alam,” ucap Edhy.
Baca juga: Ekspor Benih Lobster Dinilai Eksploitasi Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan budidaya perairan atau akuakultur yang tepat dapat menghasilkan nilai tambah, mempekerjakan banyak orang, dan menyejahterakan masyarakat, serta menambah devisa negara. Akuakultur juga berperan pada peningkatan pangan berprotein tinggi bagi masyarakat untuk mengentaskan persoalan stunting.
Edhy juga mengajak para peneliti, perekayasa, dan ahli akuakultur untuk berinovasi menciptakan pembenihan lobster dan pembuatan indukan unggul. Ke depan, budidaya tidak lagi mengandalkan induk matang telur dari alam, tetapi menggunakan hasil pembenihan terprogram.
Sementara Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan pembesaran benih lobster dinilai memiliki risiko terhadap perluasan lahan (ekstensifikasi).
Baca juga: 37 Ribu Benih Lobster Hasil Penyelundupan Senilai Rp 5,4 Miliar Dilepasliarkan
“Jangan sampai nanti membuat area produktif yang biasanya dipilih sebagai tempat payau, lalu mangrove malah dibabat untuk kepentingan budidaya. Yang harus didorong itu intensifikasi artinya meningkatkan hasil produksi dengan cara meningkatkan kemampuan atau memaksimalkan produktivitas lobster nasional,” ujar Susan saat dihubungi Greeners melalui telepon.
Menurut Susan pengembangan benih lobster membutuhkan waktu lebih dari enam bulan, sehingga perputaran uang juga sangat lambat. Ia menyimpulkan hal tersebut yang membuat pemerintah lebih memilih untuk menjual benih lobster.
“Sesuai dengan UU No.56/2016, lobster yang baru bisa diekspor beratnya harus 200 gram. Jadi, seharusnya kalau mau diekspor dalam bentuk sudah besar karena keuntungannya juga besar bagi Indonesia,” ucap Susan.
Menyiapkan transisi dan skema peraturan
Dibanding merevisi atau mengubah peraturan, KIARA menyarankan agar pemerintah menyiapkan transisi dan persiapan skema peraturan. Karena sesuai mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016, negara wajib memastikan usaha dan pemberdayaan nelayan.
Pemerintah juga diminta menyiapkan skema teknologi dalam membesarkan benih lobster sebab masih banyak kegagalan dalam hal teknologi. Di lain hal, nelayan juga perlu dilibatkan di samping pemerintah meninjau kebijakan nelayan tradisional.
Pemberlakuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan telah menimbulkan polemik di masyarakat. Peraturan yang ditujukan untuk mengendalikan eksploitasi benih lobster dan menjaga keberlanjutan persediaan dinilai menghambat usaha orang-orang yang menggantungkan hidup di sana.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani