Jakarta (Greeners) – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama dengan Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, Bupati Pulang Pisau Edy Pratowo dan Bupati Katingan Ahmad Yantenglie, akhirnya menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (NKB) tentang Program Pengembangan Bioenergi Lestari yang akan dilaksanakan di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said dalam keterangan resminya menyatakan telah menandatangani perjanjian kerjasama Program Pengembangan Bioenergi Lestari antara Kementerian ESDM dalam hal ini Direkotrat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
Melalui NKB ini, Sudirman mengatakan bahwa integrasi hulu dan hilir industri bioenergi pasti akan terwujud. Pasalnya, penandatangan NKB ini merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam mengembangkan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang ada di Indonesia.
Selain itu, NKB ini juga sesuai dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menargetkan peningkatan sasaran penyediaan energi primer Indonesia pada tahun 2025 sebesar 400 MTOE (Millions Tons of Oil Equivalent) dengan rincian 25 persen minyak bumi, 30 persen batubara, 22 persen gas dan 23 persen EBT atau setara dengan 92 MTOE berasal dan EBT.
“Kerjasama Program Pengembangan Bioenergi Lestari bersama Pemerintah Kalimantan Tengah ini akan berlaku selama lima tahun sejak tanggal penandatanganan dan dapat diperpanjang, diubah, maupun diakhiri, sesuai dengan kesepakatan para pihak,” jelasnya, Jakarta, Selasa (21/07).
Indonesia, jelasnya, adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, termasuk keanekaragaman jenis tumbuhan bioenergi dan ketersediaan lahan yang cukup ideal. Dengan begitu Indonesia sangat layak untuk mengandalkan bioenergi sebagai salah satu sumber energi yang berpotensi besar untuk dikembangkan.
Namun, selama 10 tahun terakhir bauran energi Indonesia yang berasal dari EBT hanya sekitar 6 persen. Sementara, dalam 10 tahun ke depan Indonesia menargetkan pertumbuhan sebesar 17 persen. Hal tersebut, katanya, banyak disebabkan karena tantang yang dihadapi selama ini adalah dalam mengintegrasikan hulu produksi bahan baku dengan hilir konsumer pengguna.
“Banyak terdapat kasus kegagalan bangkitnya industri bioenergi di Indonesia yang disebabkan oleh tidak terhubungnya keseluruhan rantai nilai. Oleh karena itu, penandatanganan NKB ini merupakan langkah untuk mengurai sumbatan yang terjadi selama ini,” tegasnya.
Penulis: Danny Kosasih