Jakarta (Greeners) – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kamtibmas Kemenko Polhukam) akan membentuk tim untuk melakukan penelusuran terkait kematian 24 anak yang meninggal akibat lubang bekas pertambangan di Kalimantan Timur.
Pada Kamis kemarin, KPAI turut serta dalam rapat koordinasi bersama Deputi V Polhukam, KPAI, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Mabes Polri, Direskrimum Polda Kaltim, dan Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Kaltim di kantor Menko Polhukam. Komisioner KPAI Maria Ulfah Anshor kepada Greeners mengungkapkan, dalam waktu dekat tim tersebut akan melakukan peninjauan ke lokasi lubang bekas penambangan yang menewaskan 25 anak di Kalimantan Timur.
Tim kerja yang dipimpin oleh Inspektur Jenderal Carlo Tewu, Pelaksana Harian (Plh) Deputi Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenko Polhukam, katanya, juga akan segera mengklarifikasi sejumlah informasi terkait data detail dan konkret jumlah korban dan lokasi lubang tambang.
“Rapat kemarin menyepakati bahwa proses hukum harus dilanjutkan, meskipun perusahaan memberikan uang ganti rugi tidak berarti memberhentikan proses hukum,” terangnya, Jakarta, Jumat (05/08).
BACA JUGA: Korban Bekas Galian Tambang Bertambah, Jatam Nilai Pemerintah Lalai
Beberapa data yang akan diklarifikasi tersebut, menurut Carlo selaku pemimpin tim kerja, seperti peninjauan di lapangan yang menunjukkan data berbeda terkait jumlah angka (korban) antara yang disampaikan KPAI dengan angka yang dilaporkan oleh penyidik.
Mengenai kewajiban para investor, Carlo berpendapat, mungkin saja para investor telah memberikan uang jaminan reklamasi. Namun, dengan uang jaminan itu seharusnya lubang-lubang tambang sudah tertutup karena pemerintah mewajibkan perusahaan menyetor jaminan reklamasi sebelum dilakukan eksplorasi.
“Bentuk jaminan reklamasi yaitu rekening bersama, deposito berjangka ditempatkan pada bank pemerintah di Indonesia, Bank Garansi yang diterbitkan bank pemerintah di Indonesia atau bank swasta nasional atau cadangan akuntansi,” jelasnya.
Peraturan Menteri Nomor 7/2014 pun telah mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak menyetorkan jaminan reklamasi berupa peringatan tertulis; penghentian sementara, sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan; dan pencabutan IUP eksplorasi, IUP operasi produksi, IUPK eksplorasi, atau IUPK operasi produksi.
“Hanya saja kan kita tidak tahu uang jaminan reklamasi diberikan kepada siapa, disimpan di mana, dan berapa jumlahnya. Maka itu datanya masih perlu diklarifikasi. Saya enggak bisa mengira-ngira (besarnya) karena data itu ada di Pemprov dan Minerba karena mereka yang melakukan tugas itu,” tambahnya.
Sebagai informasi, Berdasarkan catatan yang diperoleh dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, ada 3.500 lubang tambang yang menyebar di Kaltim, dimana 232 lubang di antaranya berada di Kota Samarinda. Jumlah korban anak yang meninggal terbanyak juga berada di Kota Samarinda, yaitu 15 dari 25 anak-anak. Dari 718 kilometer persegi total luas area di Samarinda, 70 persen di antaranya merupakan kawasan pertambangan.
BACA JUGA: 721 Izin Pertambangan Bermasalah Dicabut
Merah Johansyah Ismail, aktivis Jatam, memaparkan, berdasarkan lokasi Pertambangan, sebagaimana termuat dalam halaman I-9 dokumen ANDAL PT. Graha Benua Etam (GBE) di dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota Samarinda tahun 2001-2010, disebutkan sebagai kawasan pengembangan permukiman. Khususnya di bagian selatan Kuasa Pertambangan (KP) dan pada bagian lokasi lain KP diperuntukkan untuk kawasan perkebunan dan pertanian (Berambai).
Jarak lubang galian tambang juga diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara karena lubang bekas tambang banyak ditemukan amat dekat dengan pemukiman yang seharusnya berjarak 500 meter antara tepi lubang galian dengan Pemukiman warga, namun kenyataannya jarak hanya 189 meter saja.
Selain itu, di lapangan juga terlihat bahwa perusahaan juga tidak mengikuti ketentuan teknik tambang seperti yang dimuat dalam keputusan menteri Pertambangan nomor 55/K/26/MPE/1995, diantaranya tidak memasang pelang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tidak ada pengawasan sehingga menyebabkan orang lain masuk ke dalam tambang.
“Berdasarkan kesaksian warga, lubang-lubang ini telah ditinggalkan nyaris 3 tahun lamanya. Itu jelas melanggar Pasal 19-21 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010, bahwa paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan tambang pada lahan terganggu wajib di reklamasi,” tutur Merah.
Penulis: Danny Kosasih