Jakarta (Greeners) – Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan mendorong transportasi publik hijau berbasis listrik. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa tidak semua pemerintah daerah (pemda) siap mengimplementasikan inisiatif ini. Sebab, pemda tidak terbiasa mengelola biaya investasi yang diperlukan.
“Mereka hanya terbiasa menyiapkan biaya operasional, bukan biaya investasi. Padahal, dalam transportasi hijau ini perlu investasi sementara. Oleh karena itu, pemerintah akan memberikan insentif untuk mendorong penggunaan energi terbarukan dan investasi di sektor hijau,” ujar Airlangga dalam acara kumparan Green Initiative Conference 2024 di Jakarta, Selasa (24/9).
Saat ini, Indonesia berkomitmen dalam Enhanced Nationally Determined Contribution. Hal itu untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari lima sektor. Di antaranya energi (termasuk transportasi), proses industri, limbah, pertanian, dan kehutanan.
BACA JUGA: RI-Jepang Kerja Sama untuk Kurangi Emisi dari Industri Otomotif
Pada tahun 2022, inventarisasi emisi dari sektor energi mencapai 727,33 juta ton karbon dioksida (CO2). Sebesar 21,85 persen berasal dari transportasi. Pada tahun 2023, konsumsi energi sektor transportasi mencapai 448,5 juta Barrel of Oil Equivalent (BOE), atau 36,74 persen dari total konsumsi energi di Indonesia.
Pemerintah terus mendorong penggunaan kendaraan berbasis listrik dan baterai untuk menekan emisi gas rumah kaca. Berdasarkan proyeksi, jumlah kendaraan listrik dan berbasis baterai akan meningkat signifikan pada tahun 2035.
Selain itu, pemerintah juga mempercepat pembangunan infrastruktur untuk kendaraan bermotor listrik dan menerapkan digitalisasi dalam transportasi. Penerapan transportasi hijau, terutama untuk transportasi publik, semakin menjadi prioritas.
Belum Ada Pasar Sekunder Kendaraan Listrik
Per April 2024, jumlah kendaraan listrik berbasis baterai di Indonesia mencapai 133.225 unit. Kendaraan listrik itu terdiri dari 109.576 kendaraan roda dua, 320 roda tiga, 23.238 roda empat, 10 kendaraan komersial, dan 81 bus listrik. Jumlah ini meningkat daripada tahun sebelumnya, di mana pada tahun 2023 hanya mencapai 116.438 unit.
Namun, Airlangga menegaskan bahwa masih ada tantangan lain dalam mendorong transportasi listrik di Indonesia. Salah satunya adalah belum adanya pasar sekunder atau pasar barang bekas untuk kendaraan berbasis listrik.
Selain mendorong kendaraan umum berbasis listrik, Airlangga menegaskan bahwa pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor. Insentif ini dapat berupa subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang ditanggung oleh pemerintah.
Dorong Biodiesel
Sebagian besar penggunaan energi di sektor transportasi masih bergantung pada bahan bakar minyak (BBM), baik bensin maupun solar. Dalam upaya mendekarbonisasi sektor ini, pemerintah tidak hanya mendorong transportasi listrik, melainkan juga memanfaatkan biodiesel.
Biodiesel merupakan bahan bakar minyak yang berasal dari hewan maupun tumbuhan. Salah satu jenis biodiesel yang digunakan adalah B35, yang merupakan campuran bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit dan solar dengan perbandingan 35:65.
BACA JUGA: Charging Station Kendaraan Listrik Kini Hadir di Kantor KLHK
Hingga tahun 2023, pemanfaatan biodiesel dalam negeri telah mencapai 54,52 juta kiloliter. Pemanfaatan ini berhasil menurunkan impor solar dan menghemat devisa sebesar Rp404,32 triliun. Selama periode 2018 hingga 2024, volume biodiesel yang tersalurkan mencapai 63,04 juta kiloliter.
Program biodiesel ini merupakan salah satu inisiatif pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 358 juta ton CO2 dari sektor energi. Jumlah tersebut sebesar 12,5% dari skenario Business as Usual (BAU) pada tahun 2030.
“Kami juga merencanakan BBM dengan jenis B40 bakal digunakan pada tahun 2025 sebagai pengganti B35,” ungkap Airlangga.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia