Jakarta (Greeners) – Provinsi Papua dan Papua Barat menyumbang lebih dari 38 persen dari total tutupan hutan Indonesia. Seiring berjalannya waktu, hutan hujan tropis di Bumi Cenderawasih ini mengalami ancaman serius, seperti deforestasi, degradasi hutan, alih fungsi lahan, kerusakan lahan gambut, dan pembangunan infrastruktur. Padahal hutan hujan tropis berperan sebagai rumah bagi beragam flora dan fauna endemis, penyeimbang iklim karena dapat menyimpan karbon, serta sumber penghidupan bagi masyarakat adat yang tinggal di sekitarnya.
Luas tutupan hutan alam di Provinsi Papua Barat diketahui sebesar 8,6 juta hektare atau sekitar 87,08 persen dari total luas provinsi tersebut. Menurut Nataniel Dominggus Mandacan, Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat, sebanyak dua persen dari luas hutan hilang akibat degradasi lahan yang terjadi selama 10 tahun terakhir.
Baca juga: 29 Kawasan Pariwisata Konservasi Siap Dibuka
“Munculnya perkebunan besar seperti kelapa sawit di Papua semakin banyak dari tahun ke tahun. Kita berkomitmen menjaga 70 persen provinsi Papua tetap ada hutannya. Bagian-bagian yang sudah dijadikan kelapa sawit akan kita kembalikan fungsinya ke hutan melalui peraturan pemerintah pusat maupun daerah,” ujar Nataniel pada diskusi daring dalam memperingati World Rainforest Day “Hutan Papua Benteng Terakhir Masa Depan Indonesia”, Senin, (22/06/2020).
Dengan adanya Peraturan Daerah Khusus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan atau disebut Perdasus Konservasi, Papua Barat menempatkan konservasi sebagai prioritas dari setiap kegiatan ekonomi dan pembangunan. Misalnya dengan mengevaluasi izin konsesi dari kebun-kebun kelapa sawit yang sudah tidak produktif dan mengarahkannya untuk tanaman lain.
“Jika lahan yang dikelola oleh pengusaha sudah melebihi masa kontrak, akan ditarik izinnya oleh pemerintah. Dengan demikian target komitmen 70 persen Papua Barat menjadi hijau selama 70 tahun ke depan akan tercapai,” katanya.
Ia menuturkan, Perdasus Konservasi juga menjadi landasan untuk mengkaji ulang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Papua Barat. Tinjauan yang sedang dilakukan oleh tim Provinsi Papua Barat tersebut bertujuan untuk mengatur ulang proporsi kawasan lindung dan budidaya hutan Papua Barat. Saat ini komposisinya masih 36 persen berbanding 64 persen. Sementara pemerintah daerah menargetkan 70 persen wilayah Papua Barat menjadi kawasan konservasi dan lindung.
Ia berharap agar pemerintah pusat dapat mendukung Perdasus Konservasi dengan tidak mengubah peraturan begitu cepat dan tetap memerhatikan kontekstual tatanan Papua. “Serta tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan Perdasus Konservasi,” ucapnya.
Menyesuaikan Kultur dan Melibatkan Masyarakat Adat
Pemberdayaan orang Papua melalui perlindungan hak-hak sumber daya alam dan penyediaan pembangunan yang adil dan berkelanjutan semestinya menjadi bagian terpenting dari pembuatan kebijakan. Provinsi di timur Indonesia tersebut merupakan rumah bagi 870 ribu orang Papua. Sebanyak 80 persen di antaranya bergantung pada alam untuk penghidupan mereka.
Asisten II Bidang Perekonomian dan Kesejahteraan Sekretaris Daerah Papua, Drs. Muhammad Musaad mengatakan, kualitas lingkungan hidup di Papua mengalami penurunan. Menurutnya, kegiatan ekstraktif telah menghilangkan hutan dan sumber kehidupan masyarakat asli di sana. Padahal 90 persen masyarakat hidup di tengah hutan. Sebanyak 29 persen kampung berada di kawasan hutan lindung dan sisanya terdapat di luar kawasan.
“Inilah yang menyebabkan ketergantungan masyarakat menjadi sangat penting. Partisipasi masyarakat terjamin dengan mekanisme adat yang turun temurun, bagaimana menjaga hutan dan tanah adat yang sudah menjadi ibu serta identitas masyarakat Papua,” ujar Musaad.
Baca juga: Pemerintah Evaluasi Pelaksanaan Car Free Day di Jakarta
Pada 2013, pemerintah daerah Papua mengusulkan model pembangunan berbasis sosial-kultural yang membagi Papua menjadi tujuh kawasan wilayah adat. Gagasan itu kemudian diadopsi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kawasan tersebut di antaranya Mamta (Mamberamo-Tami atau sekarang dikenal dengan wilayah Tabi), Saereri, Ha Anim, La Pago, Mee Pago (kelimanya di wilayah Papua), Bomberai, dan Domberai di Papua Barat. “Batas-batas kewilayahan menentukan kepemilikan masyarakat adat,” ujarnya.
Musaad menegaskan agar pendekatan masyarakat adat dikedepankan dan dikembangkan ketika membangun wilayah Papua. Menurutnya diperlukan dukungan semua pihak untuk menggunakan model dan cara yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat papua.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani