Jakarta (Greeners) – Banyak cara untuk memperingati semangat Sumpah Pemuda. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Seperlima, sebuah gugus kerja yang terdiri dari Pamflet, Pusat Keluarga Berencana Indonesia, Rahima, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia, dan Hivos yang bekerjasama dengan promotor konser G Production untuk mengadakan Festival Seperlima 2014 bertemakan “Beda Itu Biasa”.
Koordinator Seperlima, Dyana Savina Hutajulu, menerangkan, bahwa Festival Seperlima diadakan sebagai peringatan akan semangat Sumpah Pemuda sebagai salah satu peristiwa bersejarah bagi pergerakan anak muda di Indonesia. Momen ini kerap diperingati dalam konteksnya untuk “memelihara persatuan” ketimbang “merayakan perbedaan”.
Padahal, lanjutnya, penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman makin terasa penting dan relevan bagi kehidupan anak muda di Indonesia saat ini, terutama dalam menghadapi berbagai permasalahan di lingkup anak muda, seperti kekerasan (termasuk kekerasan seksual), perkelahian pelajar, bullying, dan diskriminasi antar kelompok yang kian marak akhir-akhir ini.
“Melalui ‘Beda itu Biasa’, kami ingin memberitahu bahwa saat ini sudah semakin marak tindak kekerasan di lingkup anak muda. Hal ini berawal dari kurangnya penghormatan terhadap bentuk-bentuk keberagaman berekspresi, penghargaan terhadap perbedaan latar belakang dan semakin sempitnya ruang bagi anak-anak muda untuk bertemu, berdialog dan bertukar gagasan dan ide-ide kreatif,” terang wanita yang akrab dipanggil Vina ini saat ditemui oleh Greeners di Taman Menteng, Jakarta, Minggu (26/10).
Catatan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), tambah Vina, mencatat ada 229 kasus tawuran pelajar sepanjang Januari-Oktober tahun 2013, sementara Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mencatat adanya 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun yang sama. Menurutnya, hal tersebut akan semakin besar menimpa anak muda jika ruang ekspresi dan kesempatan untuk menonjolkan ide kreatif tidak difasilitasi dengan baik.
“Ruang untuk ekspresi dan kesempatan untuk menunjukkan kreatifitas adalah salah satu faktor yang bisa menekan tingkat intoleransi dan kekerasan terhadap anak muda,” katanya.
Vina juga menambahkan bahwa penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (PKRS) di sekolah juga penting. PKRS sangat berguna bagi jiwa remaja yang sedang mengalami masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pendidikan kesehatan reproduksi atau seks yang komprehensif tidak hanya soal menjaga kesehatan saja, tetapi juga aspek psikologis, pemberdayaan, kecakapan hidup, dan prinsip anti-kekerasan.
“Acara ‘Beda Itu Biasa’ diadakan untuk merajut kembali semangat menghargai perbedaan anak muda serta memberi ruang bagi anak muda untuk mengeluarkan gagasan-gagasan kreatif yang selama ini terpendam,” katanya.
Pada kegiatan ini diselenggarakan juga kompetisi poster infografik untuk menjaring aspirasi anak muda terkait masalah-masalah di sekitar mereka. “Festival Seperlima 2014: Beda Itu Biasa” juga dimeriahkan oleh pemutaran film dari beberapa sineas muda, antara lain Bernadette karya Paul Agusta, Silent karya Sidi Saleh, Masa Sih karya Chairun Nissa, serta Mencintai Nisan karya Dmaz Brodjonegoro.
(G09)