Jakarta (Greeners) – Pohon memiliki banyak fungsi sebagai pembersih udara, tanah, dan air sehingga membuat bumi menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni. Pohon diketahui dapat mengurangi kadar karbon dioksida (CO2) di udara dan menghasilkan oksigen (O2). Namun, banyak pohon terbakar bahkan ditebang dan hutannya digunakan untuk alih fungsi lahan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2019 mencapai 1.592.010 hektar. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo terdapat kesengajaan membakar hutan. “Berbagai interview dan data lapangan menunjukkan lahan yang terbakar ini 80 persen berubah jadi lahan perkebunan. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa 99 persen karhutla disebabkan oleh ulah manusia,” kata Doni Monardo.
Baca juga: Kebakaran Hutan dan Lahan Rugikan Indonesia Rp 75 Triliun
Guru Besar Ilmu Tanah dan Lingkungan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat Gusti Zakaria Anshari, berpendapat bahwa masyarakat sengaja membakar lahan untuk dialihfungsikan. Menurutnya lahan akan cepat berkembang jika ditumbuhi tanaman pertanian.
“Di lahan kering masyarakat sengaja membakar karena lahan tidak subur di Kalimantan. Dengan adanya abu membantu mempercepat pertumbuhan terutama tanaman pertanian. Tanaman hutan jarang ditanam karena lambat tumbuhnya, kecuali pohon buah-buahan seperti durian,” ucap Gusti saat ditemui Greeners di Acara Indonesia Primates Conservation & Climate Change Symposium, di Jakarta, Kamis (09/01/2019).
Untuk mengisi kembali lahan yang kosong akibat kebakaran, kata Gusti, dapat dilakukan dengan menanam bibit atau spesies pionir. “Untuk gambut setelah terbakar pun masih bisa kita tanami. Kita cari spesies-spesies yang pionir, mungkin seperti perepat. Tapi memang membutuhkan waktu yang cukup lama kalau di gambut, bisa di atas 10 tahun baru nampak pohonnya. Itu pun harus dijaga supaya terus lembab dan tidak panas,” ujar Gusti.
Gusti mengatakan penanaman di lahan yang telah terbakar harus memperhatikan beberapa hal seperti kualitas bibit, akar, dan daun untuk menghindari kegagalan restorasi. “Penanaman kembali pada lahan terbakar tidaklah mudah. Banyak kasus setelah ditanami mati, biasanya masalah utama bibitnya tidak berkualitas, tidak bertahan, terlalu panas, akarnya kurang kuat,” ucap Gusti.
Pengembalian Fungsi Hutan
Di samping curah hujan ekstrem, banjir awal tahun juga disebabkan karena perambahan hutan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Kawasan tersebut beralih fungsi menjadi lahan pertanian kering, pertambangan, dan pembangunan berbahan beton. Padahal hutan dan pohon berguna sebagai penahan sehingga laju air dapat terserap ke dalam tanah.
“Setelah kita cek di lapangan maupun citra satelit, sebagian besar tutupan lahan di bagian hulu merupakan pertanian lahan kering, yaitu sayuran. Selain itu, sebagian besar situ dan rawa di daerah Bekasi dan sekitarnya itu semuanya sudah tertutup beton, di samping sistem drainase yang terganggu,” ujar Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (PDASHL) Hudoyo saat dihubungi melalui telepon.
Baca juga: Keterbukaan Informasi Hutan Bantu Monitoring SDA
Hudoyo mengatakan, kesalahan fungsi kawasan hutan di hulu disebabkan oleh lemahnya pengawasan pengelola Perum Perhutani. Peruntukannya, kata Hudoyo, harus dikembalikan sebagai hutan alam. KLHK mengedukasi masyarakat dengan mengenalkan tanaman makadamia sebagai pengganti tanaman sayuran. “Tanaman makadamia ini jauh lebih menguntungkan daripada tanaman sayur seperti kol dan kentang. Karena omzet per tahun mencapai Rp 1 miliar,” ucapnya.
Tanggal 10 Januari diperingati sebagai hari satu juta pohon. Sebagai upaya penghijauan lingkungan, KLHK memberikan bibit gratis kepada masyarakat . Caranya dengan mengajukan surat kepada Kepala Balai Pengelolaan DAS dan hutan lindung. Atau membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) ke persemaian permanen yang berada di Badan PDASHL seluruh Indonesia. Warga akan mendapatkan 25 bibit gratis berupa 5 pohon buah dan 20 pohon penghijauan.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani