Jakarta (Greeners) – Penelitian terbaru dari peneliti Stockholm Ian Cousins mengungkap, pencemaran Perfluorinated Alkylated Substances (PFAS) di dunia telah melewati ambang batas planet yang aman. Itu artinya, air yang terkontaminasi zat beracun ini tak aman lagi untuk manusia konsumsi.
Bahkan sebelumnya, ia menemukan tingkat PFAS pada air hujan di daerah terpencil seperti Antarktika dan dataran tinggi Tibet telah melampaui ambang batas Badan Perlindungan Amerika Serikat (EPA). Temuan tersebut telah terbit dalam jurnal Environmental Science and Technology.
Di Indonesia, meski masih musim kemarau, hujan mulai terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Bagi sebagian besar orang, air hujan mereka manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mencuci, menyiram tanaman hingga minum.
Namun berdasarkan penelitian tersebut, air hujan tak bisa diminum karena temuan kandungan PFAS yang berbahaya bagi tubuh.
Paparan PFAS tak hanya berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh, tapi terhadap kesehatan hingga ekologi. Bahkan mengacu standar EPA, kadar PFAS yang dapat menyebabkan kanker.
Air Hujan Mengandung PFAS Berdampak Buruk pada Kesehatan
Merespon hal itu, peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Reza Cordova menyatakan, kandungan PFAS dapat berdampak buruk pada kesehatan.
“PFAS itu mengakibatkan peningkatan risiko kanker, gangguan sistem kekebalan tubuh dan metabolisme yang membuat gangguan kesuburan. Selain itu juga memicu gangguan sistem pengaturan kolesterol dan tekanan darah dan berpengaruh ke ibu hamil serta janinnya,” katanya kepada Greeners, Senin (15/8).
Lebih jauh Reza menyebut, kandungan PFAS telah berbagai sektor industri manfaatkan sejak dulu. Industri tersebut yakni elektronik, otomotif, konstruksi, penerbangan, hingga kosmetik. Sementara itu kandungan PFAS bisa kita temukan dalam air hujan karena mengikuti siklus hidrologi yang ada.
“PFAS sifatnya unik, dalam artian bisa “bergerak” di air dan bisa “terbang” menjadi aerosol ke udara dan akhirnya mengikuti siklus hidrologi. Dari siklus ini, PFAS menyebar melalui atmosfer dan jatuh kembali ke bumi dalam hujan,” paparnya.
Butuh Aturan PFAS secara Spesifik
Reza menambahkan, penanggulangan pengelolaan kandungan ini terbilang sulit karena selama ini masih sering kali menggunakan metode filtrasi. Selain itu, Indonesia belum mengatur secara spesifik baku mutu PFAS. Ia mendorong agar pemerintah mengatur baku mutu PFAS secara keseluruhan.
“Selama ini ada PFOS (salah satu jenis PFAS di pestisida) ini sudah diatur atau Kementan larang. Ada juga baku mutu PFOS di industri tekstil yang Kemenperin atur. Nah sisanya yang belum tersedia ini tentu perlu untuk diatur,” ucapnya.
Untuk mengurangi dampak pencemaran dari PFAS, Reza mengingatkan agar masyarakat mengurangi produk-produk yang menggunakan kandungan PFAS di dalamnya.
Peneliti Pusat Riset Geospasial BRIN Jaka Suryanta mengungkapkan, PFAS paling banyak ditemukan sebagai zat kimia anti lengket, seperti alat penggorengan atau alat masak.
“Produsen alat (yang mengandung PFAS) sangat gencar promo murah, tapi teknologinya tidak mengimbangi sehingga mudah terkelupas dan menempel ke makanan,” ujarnya.
Ia menambahkan, peluang kandungan limbah PFAS sangat tinggi. Terutama di wilayah perkotaan dan kawasan industri yang akhirnya terbawa ke air dan tanah.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin